Minggu, 08 Januari 2017

Antara Tanah dan Nilai Lebih





 Malam ini saya bertemu lagi dengan pak RT yang suka membawa kamera kemana saja ia pergi, dan suka sekali bercerita, entah itu cerita mengenai pengalaman hidupnya ataupun tentang kisah orang lain yang ia temukan di jalan.  
Entah kenapa malam ini ia memberikanku satu tunas muda Bunga Sedap Malam,  Setelah ia menyuruhku mencium Bunga Sedap Malam yang terdapat di depan rumahnya. Namun sayang bunga tersebut sudah gugur. Dan tak lagi menebar wanginya yang khas, yang hanya dapat kita cium di saat malam hari.
Kata Pak RT bunga Sedap Malam itu baru saja gugur. Oh.. Ternyata harum bunga sedap malam yang beberapa malam kemarin ku cium di sekitar kompleks ini  berasal dari teras rumah pak RT. Aroma bunga sedap malam sangat khas yang tak  kalah dengan bunga melati.  Di tempat ini juga terdapat bunga melati yang sempat kala itu ku petik dan kusisipkan   di rambutku.
Di beberapa tempat banyak orang mengartikan bunga  sedap malam berbeda-beda. Ada yang melambangkan bunga sedap malam sebagai lambang bunga kesedihan, karena wanginya yang seperti aroma kemenyan yang indentik dengan kematian. di Jepang misalnya, bunga sedap malam digunakan sebagai lambang cinta. Di Eropa, bunga Sedap Malam kerap dilibatkan terutama dalam acara-acara penting keagamaan. Di  india Bunga sedap malam juga diberi nama ratkirani untuk bunga ini yang juga berarti ratu malam.
Namun bagiku bunga sedap malam tak lebih dari tumbuhan yang sedang berproduksi di saat malam hari.  Sehingga ia hanya dapat mengeluarkan aroma di saat malam hari dan tercium oleh indera penciuman manusia, yang  kemudian di beri nama bunga sedap malam. Seperti hal bunga bangkai, yang juga sama mengeluarkan aroma, hanya manusia dengan indera penciumannya memberikan perbedaan antara aroma yang wangi dan busuk. Padahal sama-sama bernama BUNGA.

Bunga sedap malam juga memberikan khasiat. Yang seperti Bisul dan bengkak, Katarak, penenang pikiran, susah tidur, dan penambah darah, Meningkatkan stamina, Influenza, Radang tenggorokan Rematik. (untuk lebih jelasnya silahkan searching ke Om Google).
Lantas dimana saya akan menanam tunas pemberian Pak RT, sedang tadi siang saya mendengar percakapan kakak saya dan istrinya tentang sulitnya tanah di kota Palu, bahkan untuk menanam bunga di pot saja mereka mesti membeli tanah.
Sebegitu miriskah kehidupan di kota. Tanah untuk pot kecil saja mesti di beli, tomat di beli, kangkung di beli, cabai di beli, bahkan untuk memarkir kendaraanpun harus bayar. Sedang pendapatan kita tak sebanding dengan pengeluaran. Artinya lebih besar pasak dari pada tiang. Seperti yang di sampaikan teman saya Adi Prianto tentang nilai lebih yang dijelaskan oleh Karl Max.
Bagaimana para pemodal menekan harga dan menekan produksi ekonomi sehingga hanya diuntungkan hanya pada sekelompok orang. Sehingga para petani atau buruh tidak mendapatkan nilai lebih dari tekanan produksi tersebut. 
            Lantas bagaimana nasib petani cabai, bagaimana dengan kegelisahan para ibu-ibu yang menjual sayur masak, penjual tahu yang suka bagi-bagi cabai gratis,  yang saat ini harga cabai sedang melambung tinggi, sedang Menteri Perdagangan, Enggartiasto Lukita, hanya menyuruh untuk tanam cabai di rumah, bagaimana dengan masyarakat  yang tak punya tanah pak,  seperti yang tinggal di rumah susun, atau kos-kosan. ah, bapak ada-ada saja.  Jadi teringat lagu Efek Rumah yang berjudul 'Lagu Cinta melulu”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Bersekolah di Masa Pandemi

 Setalah hampir dua tahun sekolah diliburkan akibat covid, akhirnya pada  senin 30 Agustus 2021 sekolah kembali dibuka untuk wilayah Tojo Un...