PEMILU
DAN KETERWAKILAN PEREMPUAN
OLEH : RAMLAH LAKI
Pemilihan umum atau yang disingkat dengan nama PEMILU adalah waktu dimana seseorang diberikan kesempatan
untuk memilih seseorang untuk mengisi jabatan politik tertentu. Jabatan
tersebut berneka ragam, mulai dari jabatan presiden, legislatif di berbagai
tingkat pemerintahan[1]
sampai ketingkat desa. Pemilu juga dapat
mengisi jabatan-jabatan di lingkup pendidikan seperi di Universitas pemilihan Rektor, Badan eksekutif Mahasiswa (BEM ) sampai pada
mengisi jabatan OSIS.
Namun Pemilu dalam konteks paradigma masyarakat adalah sebuah
proses-waktu dimana orang-orang yang
terlibat dalam sebuah proses pemilihan
umum yang melibatkan, partai politik, orang yang dipilih untuk menduduki sebuah
jabatan dan waktu yang telah ditentukan untuk melakukan proses pemilihan tersebut yang diatur dalam sebuah UU dan
orang-rang yang terlibat dalam penyelenggara pemilu.
Dalam proses tersebut penyelengara
pemilu di sebut KPU yang dibentuk pada 1998 era reformasi yang pada saat itu
beranggotakan 11 orang dari unsur LSM dan akademis. Kemudian di tigkat
kecamatan disebut Panitia Pemilhan Kecamatam (PPK), dan tingkat desa Panitia
Pemungutan Suara (PPS) dan Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) dan orang-orang yang terlibat membantu
proses berjalannya PEMILU. Dalam setiaip
proses pemilhan umum telah disepakati dan diputuskan oleh pemerintah dalam hal
ini adalah presiden. Ketetepan presiden dalam Pemilu serentak (DPR, DPD, DPRD
dan PILPRES) tertuang dalam UU tentang
PEMILU nomor 7 tahun 2017.
Kemudian dalam proses pemilu
penyelenggara pemilu dapat mengeluarkan Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU)
peraturan tersebut mengatur segala
tatacara dan pelaksanaan pemilu. Masa kampanye dan masa tenang menjelang proses
pengambilan suara rakyat.
Dalam masa waktu kampanye para kandidat (legislatif maupun yudikatif), berkesempatan menunjukan kelebihannya
masing-masing. memperlihatkan kemampuan mereka dalam mengemban suatu amanah
rakyat, dengan cara membagi-bagikan sembako, membuka balai belajar, sunat
masal, dan berbagai kegiatan positif lainnya.
Namun kerap kali para kandidat
tidak mengikuti aturan yang telah ditetapkan dalam PKPU hingga kemudian dituduh melakukan black campaign atau kampanye negatif. Beberapa
contoh Kampanye negatif seringkali kali ditemukan di lapangan oleh badan
pengawas Pemilu. Yaitu melakukan kampaye sebelum waktu kampanye yang telah
ditetapkan dalam PKPU, melakukan money
politik dengan cara membagikam uang pada calon pemilih / masyarakat.
Berbagai cara kampanye yang
dilakukan kandidat termasuk membuat
poling kandidat melalui media sosial.
Menurut Undang-undang Nomor 22
Tahun 2007 Tentang Penyelenggara Pemilu, komposisi keanggotaan KPU harus
memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30% (tiga Puluh persen)
dengan berpedoman asas langsung, umum,
bebas, rahasia, jujur dan adil, berkepastian hukum, profesional, akuntabel,
efektif dan efesien.
Meskipun demikian pada pemilihan
umum tahun 2019 masih banyak terdapat
kekurungan dalam asas tersebut, seperti misalnya asas ke-rahasiaan, dengan semakin
banyaknya pengguna android pu mendorong semakin banyak pengguna media sosial
yang ingin terlihat “eksis” dengan tanpa sepengetahuan petugas penyelenggara
pemungutan suara membawa handphone dan kemudian mengambil gambar saat melakukan
proses pemilihan didalam bilik suara, gambar tersebut kemudian di post ke media
sosial. Hal ini yang kemudian menjadi
pemilihan umum dianggap tidak “rahasia” lagi.
Dalam hal lain pemilihan umum
kerap kali mengabaikan keterlibatan perempuan dalam hal-hal yang strategis. Di ndonesia,
perempuan kemudian tidak terlibat langsung sebagai penyelenggara Pemilu misalnya Komisi Pemilhan
Umum, bahkan sampai pada Kelompok Penyelengara
Pemungutan Suara. Dalam pemilhan
pengurus partai politik atau sebagai calon anggota legislatif perempuan masih
menjadi nomor dua, dalam artian perempuan tidak dilibatkan secara aktif dalam
perpolitikan polittik praktis, namum keterlibatan perempuan hanya sebagai
pelengkap agar sekira Partai Politik tersebut dapat berkompetisi
dalam ajang Pemilihan Umum.
Hal ini terlihat pada pemilihan
umum 2019 DRP, DPRD, DPD kurangnya keterwakilan perempuan yang menduduki kursi
parlemen. Keterlibatan perempuan dalam
politik praktis menurut penelitian Inter
Parliamentary Union (IPU) di level ASEAN Indonesia menempati peringkat keenam
terkait keterwakilan perempuan di parlemen sementara level di dunia Internasioal Posisi Indonesia
berada di peringkat ke-89 dari 168 negara jauh di bawah Afganistan, Vietnam,
Timor Leste, dan Pakistan[2].
Padahal jelas dalam UU nomor 31
tahun 2002 tentang tentang partai politik, UU nomor 2 tahun 2008 yang memuat
kebijakan yang mengharuskan partai politik menyertekan keterwakilan perempuan
menimal 30 persen dalam pendirian mapun dalam pendirian maupun kepengurusan do
tingkat pusat. Dan beberapa UU lain yang mengatur tantang partai Politik yang
patut diselengagarakan secara adil dan demokratis.
Rendahnya keterwakilan perempuan
diranah politik disebabkan beberapa hal yakni, masih mengakarnya kuatnya budaya patriarki disebagian besar masyarakat
Indonesia. Pola pikir patriarki cenderung menempatkan perempuan di bawah
kekuasaan laki-laki. Perempuan dicitrakan sekaligus diposisikan sebagai pihak
yang tidak memiliki otonomi dan kemandirian di semua bidang termasuk politik.
Tahun 2020 beberapa wilayah di Indonesia akan
menyelenggarakan Pemilihan Kepala Daerah (PILKADA) termasuk Tojo Una-una.
Diaharapakan dalam proses pemilihan kepala daerah ini mampu memberikan hak
suara yang adil dan demoktaris dalam setiap warga negara Indonesia.