Senin, 20 Januari 2020

PEMILU DAN KETERWAKILAN PEREMPUAN



PEMILU DAN KETERWAKILAN PEREMPUAN
OLEH : RAMLAH LAKI

Pemilihan umum atau yang  disingkat dengan nama PEMILU adalah  waktu dimana seseorang diberikan kesempatan untuk memilih seseorang untuk mengisi jabatan politik tertentu. Jabatan tersebut berneka ragam, mulai dari jabatan presiden, legislatif di berbagai tingkat pemerintahan[1] sampai ketingkat desa. Pemilu juga  dapat mengisi jabatan-jabatan di lingkup pendidikan seperi  di Universitas pemilihan Rektor,  Badan eksekutif Mahasiswa (BEM ) sampai pada mengisi jabatan OSIS.

Namun Pemilu dalam konteks  paradigma masyarakat adalah sebuah proses-waktu  dimana orang-orang yang terlibat dalam sebuah  proses pemilihan umum yang melibatkan, partai politik, orang yang dipilih untuk menduduki sebuah jabatan dan waktu yang telah ditentukan untuk melakukan proses pemilihan  tersebut yang diatur dalam sebuah UU dan orang-rang yang terlibat dalam penyelenggara pemilu.

Dalam proses tersebut penyelengara pemilu di sebut KPU yang dibentuk pada 1998 era reformasi yang pada saat itu beranggotakan 11 orang dari unsur LSM dan akademis. Kemudian di tigkat kecamatan disebut Panitia Pemilhan Kecamatam (PPK), dan tingkat desa Panitia Pemungutan Suara (PPS) dan Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS)   dan orang-orang yang terlibat membantu proses berjalannya PEMILU.  Dalam setiaip proses pemilhan umum telah disepakati dan diputuskan oleh pemerintah dalam hal ini adalah presiden. Ketetepan presiden dalam Pemilu serentak (DPR, DPD, DPRD dan PILPRES) tertuang dalam  UU tentang PEMILU nomor 7 tahun 2017.
Kemudian dalam proses pemilu penyelenggara pemilu dapat mengeluarkan Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) peraturan tersebut  mengatur segala tatacara dan pelaksanaan pemilu. Masa kampanye dan masa tenang menjelang proses pengambilan suara rakyat.

Dalam masa waktu kampanye  para kandidat (legislatif maupun yudikatif),  berkesempatan menunjukan kelebihannya masing-masing. memperlihatkan kemampuan mereka dalam mengemban suatu amanah rakyat, dengan cara membagi-bagikan sembako, membuka balai belajar, sunat masal, dan berbagai kegiatan positif lainnya.

Namun kerap kali para kandidat tidak mengikuti aturan yang telah ditetapkan dalam PKPU hingga  kemudian dituduh melakukan black campaign atau kampanye negatif. Beberapa contoh Kampanye negatif seringkali kali ditemukan di lapangan oleh badan pengawas Pemilu. Yaitu melakukan kampaye sebelum waktu kampanye yang telah ditetapkan dalam PKPU, melakukan money politik dengan cara membagikam uang pada calon pemilih / masyarakat.

Berbagai cara kampanye yang dilakukan kandidat termasuk  membuat poling kandidat melalui media sosial.

Menurut Undang-undang Nomor 22 Tahun 2007 Tentang Penyelenggara Pemilu, komposisi keanggotaan KPU harus memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30% (tiga Puluh persen) dengan berpedoman  asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil, berkepastian hukum, profesional, akuntabel, efektif dan efesien.

Meskipun demikian pada pemilihan umum tahun 2019  masih banyak terdapat kekurungan dalam asas tersebut, seperti misalnya asas ke-rahasiaan, dengan semakin banyaknya pengguna android pu mendorong semakin banyak pengguna media sosial yang ingin terlihat “eksis” dengan tanpa sepengetahuan petugas penyelenggara pemungutan suara membawa handphone dan kemudian mengambil gambar saat melakukan proses pemilihan didalam bilik suara, gambar tersebut kemudian di post ke media sosial.  Hal ini yang kemudian menjadi pemilihan umum dianggap tidak “rahasia” lagi.
Dalam hal lain pemilihan umum kerap kali mengabaikan keterlibatan perempuan dalam hal-hal yang strategis. Di ndonesia, perempuan kemudian tidak terlibat langsung sebagai  penyelenggara Pemilu misalnya Komisi Pemilhan Umum,   bahkan sampai pada Kelompok Penyelengara Pemungutan Suara. Dalam  pemilhan pengurus partai politik atau sebagai calon anggota legislatif perempuan masih menjadi nomor dua, dalam artian perempuan tidak dilibatkan secara aktif dalam perpolitikan polittik praktis, namum keterlibatan perempuan hanya sebagai pelengkap agar sekira   Partai Politik tersebut dapat berkompetisi dalam ajang Pemilihan Umum.   

Hal ini terlihat pada pemilihan umum 2019 DRP, DPRD, DPD kurangnya keterwakilan perempuan yang menduduki kursi parlemen.  Keterlibatan perempuan dalam politik praktis menurut penelitian  Inter Parliamentary Union (IPU) di level ASEAN Indonesia menempati peringkat keenam terkait keterwakilan perempuan di parlemen sementara  level di dunia Internasioal Posisi Indonesia berada di peringkat ke-89 dari 168 negara jauh di bawah Afganistan, Vietnam, Timor Leste, dan Pakistan[2].

Padahal jelas dalam UU nomor 31 tahun 2002 tentang tentang partai politik, UU nomor 2 tahun 2008 yang memuat kebijakan yang mengharuskan partai politik menyertekan keterwakilan perempuan menimal 30 persen dalam pendirian mapun dalam pendirian maupun kepengurusan do tingkat pusat. Dan beberapa UU lain yang mengatur tantang partai Politik yang patut diselengagarakan secara adil dan demokratis.

Rendahnya keterwakilan perempuan diranah politik disebabkan beberapa hal yakni, masih mengakarnya kuatnya  budaya patriarki disebagian besar masyarakat Indonesia. Pola pikir patriarki cenderung menempatkan perempuan di bawah kekuasaan laki-laki. Perempuan dicitrakan sekaligus diposisikan sebagai pihak yang tidak memiliki otonomi dan kemandirian di semua bidang termasuk politik. 
Tahun 2020  beberapa wilayah di Indonesia akan menyelenggarakan Pemilihan Kepala Daerah (PILKADA) termasuk Tojo Una-una. Diaharapakan dalam proses pemilihan kepala daerah ini mampu memberikan hak suara yang adil dan demoktaris dalam setiap warga negara Indonesia.



[1] Wikipedia,org
[2]  detikNews

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Bersekolah di Masa Pandemi

 Setalah hampir dua tahun sekolah diliburkan akibat covid, akhirnya pada  senin 30 Agustus 2021 sekolah kembali dibuka untuk wilayah Tojo Un...