Selasa, 28 Maret 2017

Tenggelam

Banggai, 17 Februari 2017




Senja di Rezeki Baru
Ku tinggalkan semua resahku di pelabuhan Banggai
Ku bawah resah itu mengelilingi Pulau
Resah yang ku buat sendiri
Resah yang mungkin tak akan pernah hilang
Kuntinggalkan semua rindu di Pelabuhan Banggai
Biarkan tenggelam bersama ombak
Ku rindu benar-benar rindu
Tak ada yang bisa menghapusnya
Meski di terjang ombak,
Tenggelam, menjadi pasir
Ku tetap resah dalam penat.

BISU


Palu, 19 Januari 2017






Menuju malam..
Rindu tak bertepi..
Hanya sekedar ingin melihatmu bersama malam, kala pagi datang.
Kita pergi, dan hilang di sapu matahari.
Mari teguk kopi.
Menjelma, bisu, hilang dan mati.

Harapan



Puisiku
Harapan

Poso, 30 Oktober 2016
21.20



Aku pernah berfikir tentang bagaimna cara siang meninggalkan malam.
Dan malam yang selalu meninggalkan siang. 
Mereka tak pernah berjalan beriringan.
Tentang perempuan dan laki2 yg di ciptakan berbeda beda. 
Tentang pagi yg tak pernah bertemu senja. 
Tentang pelangi yg enggan datang pada saat hujan trun dan matahari bersinar.
Aku cemburu pada lautan yg selalu setia menunggu datangnya  sungai. 
Sayang.. kita memang berbeda. 
Tapi maukah kau menjadi laut, yg selalu membuka lebar dirinya kepada sungai.??

ASA


Banggai, 09 Februari 2017, 5:24





Sudah ku hapus semua kontak dan kenangan tentang kita...
Aku tak bisa membuat puisi, sebab aku tahu kaulah puisi itu.
aku tak bisa mendeskripsikan rindu, karena kaulah rindu itu.
Biarlah aku menikmati laut, senja, bersama imaji.
Menunggu kekasih yg di pergi bersama ombak..

BERBAGI PENGETAHUAN DENGAN CINTA


"Cerita Kita, tentang  Kampung, Harapan dan Cita-cita"

Cerita dari Desa Betaua


Datang dan pergi bersama kabut. Begitulah situasi cuaca yang menyambut kedatangan kakak-kakak Sahabat Pulau Palu saat memasuki desa Betaua, kepulangan mereka pun demikian. Dalam kabut, Bus yang mereka tumpangi perlahan meninggalkan kami yang masih berdiri di jalan raya melepas kepergian kakak-kakak yang kece, dan baik hati.  


 Kakak-kakak Sahabat Pulau sedang menjelaskan mengenai perilaku hidup bersih dan sehat di Sekolah Dasar Negeri Betaua.

Kedatangan Komunitas Sahabat Pulau Palu di Desa Betaua pada 23-25 Desember 2016, membawa energi positif bagi masyarakat desa Betaua. Dari serangkaian kegiatan yang positif tersebut mereka juga membagikan ilmu yang sangat bermanfaat bagi anak-anak, perempuan serta masyarakat desa Betaua, yang sampai sekarang masih menjadi pembicaraan hangat di kalangan masyarakat.
                                   
Bagaimana tidak, setelah mengikuti pelatihan yang di fasilitasi oleh Komunitas Sahabat Pulau, ibu-ibu sangat antusias untuk meneruskan dan mengembangkan ilmu yang mereka dapatkan saat pelatihan. Salah satu ilmu yang sudah dikembangkan dari hasil kunjungan tersebut adalah pembuatan keripik bawang.

Tepat pada tanggal 12 Februari melalui akun facebooknya Ibu kepala desa memasarkan keripik bawang hasil buatan ibu-ibu PKK, yang dikerjakan secara bersama-sama dan di kemas pula dengan kemasan pemberian dari sahabat Pulau Palu, sebagai bentuk semangat agar ibu-ibu terus meneruskan usaha tersebut.

 Ibu-ibu PKK sedang membuat dan mengemas keripik bawang.
(Sumber akun facebook Ibu Ernawati).

Menurut Bapak kepala desa, bahwa hasil dari penjualan kripik bawang itu sekitar Rp. 800.000 yang akan menjadi tabungan serta modal awal bagi ibu-ibu PKK untuk dapat terus mengembangkan produk keripik bawang tersebut.

Tidak hanya itu kepala desa juga mengungkapkan, bahwa usaha home industri ibu-ibu PKK Betaua akan bekerja sama dengan BUMDES (Badan Usaha Milik Desa) dan
DEKRANASDA (Dewan Kerajinan Nasional Daerah)   Kabupaten Tojo Una-una. Semangat pemerintah desa Betaua dalam mengembangkan usaha ini tak luput dengan cita-cita pemerintah desa untuk mensejahterakan masyarakatnya khusunya perempuan, yang di anggap memiliki potensi untuk berkembang namun terkendala dalam hal kreatifitas dan modal. Seperti yang dicita-citakan oleh Komunitas Sahabat Pulau Palu, yakni mencerdaskan dan mensejahterakan bangsa.

Betaua yang termasuk salah satu desa yang memproduksi bawang di Kabupaten Tojo Una-una tidak hanya sampai pada produksi bawang menjadi kripik, tapi juga mendorong agar desa Betaua menjadi desa yang mandiri secara ekonomi di sektor pertanian bawang secara Nasional.

Di kalangan anak-anak kehadiran Sahabat Pulau Palu benar-benar mendapatkan tempat yang baik di hati mereka. Setelah kepergian kakak-kakak SP kami membuat pertemuan membaca setiap seminggu sekali di luar ruangan, di halaman sekolah, di kebun, di pasar dll. Buku-buku yang kami baca adalah buku-buku pemberian dari kakak-kakak Sahabat Pulau, yang tidak hanya sebatas membaca tetapi kemudian kami mendiskusikan apa yang telah kami baca bersama.


Kegiatan penanaman pohon di lapangan Betaua
Salah satu yang menjadi pembahasan kami adalah mengenai pohon, seperti yang sudah kakak-kakak SP jelaskan pada kali pertama petemuan tentang fungsi Pohon dan mengapa pohon menjadi penting. Tak menyangka setelah sebulan pasca menerima pengetahuan mengenai pohon, anak-anak masih mengingat ilmu tentang apa dan bagaimana fungsi pohon yang disampaikan oleh Kakak Agus sebelum melakukan penanaman pohon.
 
Demikian pula mengenai apa fungsi mangrove yang dijelaskan oleh Kak Muzi saat penanaman mangrove di pantai. Sehingga sangat membantu membangun kesadaran kritis anak-anak mengenai mengapa pohon penting untuk di tanam, di rawat, dan di jaga.

Maka dari itu pohon yang di tanam di lapangan Desa Betaua di jaga, tidak hanya oleh anak-anak juga masyarakat Betaua. Mereka melindungi pohon yang sudah di tanam bersama-sama kakak-kakak Sahabat Pulau, dengan memagari agar tidak di makan oleh sapi dan kambing. Setiap hari tanpa diingatkan anak-anak selalu menyirami pohon yang sudah jauh-jauh di bawah oleh kakak-kakak Sahabat Pulau Palu tersebut.

 
Anak-anak desa Betaua sangat terinspirasi pada cita-cita dan semangat kakak-kakak Sahabat Pulau yang sangat besar. Semangat tersebut mereka tuangkan dalam sebuah surat. Surat ini terinspirasi dari cerita kak Windha tentang cita-citanya yang sangat tinggi pada empat orang anak di bawah pohon mangga siang itu sebelum keberangkatan balik ke Palu.
 
Kakak Windha sedang menjelaskan tentang pentingnya menjaga kebersihan kuku

Salah satunya adalah Uwam, anak laki-laki yang berusia 9 tahun. Siang itu, pasca keberangkatan Kakak-kakak Sahabat Pulau ke Palu. Ketika saya sedang memarkir sepeda motor di bawah pohon mangga, seorang anak menyapaku dengan begitu semangat. 

"Kak Rara sudah saya buat surat buat kak Windha. Terus mau di kirim lewat mana?" tanya Uwam. Kemudian ia berlari menuju rumahnya dan kembali dengan selebar kertas putih ditangannya. Diserahkannyalah kertas itu padaku 

‘O.. ini surat Uwam, pintar sekali Uwam membuat surat," Kataku pada Uwam yang saat itu masih berdiri disampingku.

Surat tanpa amplop itu dilipatnya dengan sangat rapi. Di atasnya tertulis dari Uwam, buat Kak Windha. 

“Kata kak Windha saya akan diberikan hadiah. Lantas bagaimana cara mengirimkan hadiahnya? Apa mungkin bisa lewat Internet?"  Uwam kembali bertanya. Kali ini dengan wajah yang semakin tampak bingung karena kataku surat Uwam akan dikrim melalui internet.

Uwam terinspirasi menuliskan surat kepada kak Windha, lantaran siang itu ia mendengar kisah Kak Winda yang bertemu dengan pengisi suara film Naruto hanya karena menuliskan surat sebagai penggemar Naruto, juga diyakinkan dengan foto yang diperlihatkan Kak Windha kepada Uwam dan teman-temannya. Dari perbincangan itu mereka berjanji akan saling berbalas surat, dan kak Windha Akan membalas surat Uwam di sertai dengan hadiah.

Begini isi surat Uwam..

Buat Kak Winda..

Aku setiap sore bermain takraw, dan aku suka sekali bermain bersama para sahabat sejatiku. Aku suka membaca dan menulis, dan aku bangga bisa sekolah. Aku suka menanam pohon, buah-buahan, dan umbi-umbian. Aku juga suka memelihara hewan seperti ayam. Dulu aku sering kali menyapu halaman rumahku, agar terlihat indah dan tidak ada kotoran yang menumpuk seperti bungkusan permen dan tempat minuman.

Aku juga suka menonton film sinetron anak jalanan dan film naruto. Aku bangga mempunyai cita-cita. Oh. Iya nama asliku Nurham.

Betaua, 25 Desember 2016.

Nurham atau Uwam.

Demikianlah secarik surat Uwam yang ditujukan kepada kakak Windha. Sebelum surat ini lahir, di bawah pohon mangga yang rindang telah terjadi perbincangan antara kami, yakni Kak Muzi dan kak Windha, Mustafa, Uwam, dan dua temannya.


Kakak Windha dan Kakak Muzi  (Betaua, 25/12/2016)

 "O.. iya nanti kalau kalian mengirim surat akan kakak Windha balas suratnya dan akan kak Windha berikan hadiah," kata Kak Windha kepada ke empat anak tersebut  siang itu.

"Nanti yang ditulis tentang kegiatan sehari-hari dan tentang lingkungan yah.." 
kak Windha menimpali.

Selain itu pula Kak Windha juga menjelaskan tentang bagaimana pentingnya menjaga kesehatan dengan cara selalu memotong kuku yang sudah panjang. Sembari kak Windha memberikan contoh dengan memperlihatkan kukunya yang nampak bersih dan mengkilat, begitu juga kak Muzi yang tak mau kalah juga memperilhatkan kuku-kukunya.

"Kalian jangan lupa potong kuku yah, agar kuman-kuman tidak masuk ke perut yang akan mengakibatkan cacingan." Tutur Windha yang hendak beranjak dari tempat duduknya. Karena bus yang mereka tumpangi akan segera berangkat.
"Ah.. nanti kalau kita berkirim surat lewat mana?" Tanya Uwam dengan wajah bingung. 

"Nanti surat kamu diberikan sama kak Rara yah Uwam, dan oleh kak Rara akan kirim lewat email." Jawab Kak Windha. 

Uwam pun semakin kebingungan tentang internet dan email. (Pembelajaran menganai IT akan menjadi pembelajaran kita pada pertemuan selanjutnya).

Betaua, 7 Januari 2017. Petang hari kami kembali membaca dan membahas mengenai surat menyurat. Aco, Munif, Fadli, Arul, Iman, Via dan anak-anak yang lainnya mengutarakan keinginan mereka untuk menulis surat. Semangat menulis surat ini rupanya terpengaruh dari Uwam. Sehingga mereka mulai terpanggil untuk menuliskan surat yang berisikan kegiatan sehari-hari, dan harapan serta cita-cita, seperti yang terdapat di majalah Bobo dan Kuark yang kami baca.

Kegiatan membaca.
Lokasi Pasar desa Betaua.

Dampak positif dari kedatangan Sahabat Pulau Palu di desa kami, tidak hanya bercerita tentang Pohon. Kakak-kakak Sahabat Pulau juga mengajarkan bagaimana cara membedakan antara sampah organik dan sampah non organik serta cara pengelolaan sampah basah dan kering, sampai pada bagaimana cara pengelolaan sampah kering sehingga menjadi sesuatu yang berguna dan bermanfaat.

Pun mengenai bagaimana menjaga kesehatan dengan mencuci tangan dengan baik dan benar, menggunakan sabun dan harus di air yang mengalir, menjadi materi yang sangat manarik dalam kunjungan sahabat Pulau Palu yang hanya dua hari di desa Kami.

Sampai disini dulu yah kak surat kami. Satu hal yang ingin kami sampaikan, pengalaman serta ilmu yang bermanfaat ini, tak akan kami lupakan, juga akan selalu kami praktekkan dalam kehidupan sehari-hari, sehat selalu kakak-kakak sahabat Pulau Palu. Semoga semesta dapat mempertemukan kita semua dalam keadaan sehat, sehingga kita bisa berenang dan senam sehat bersama kembali yah, kak. Oh iya.. sekarang sedang musim kelapa muda loh.. 

Gambar V. Penutupan dan Foto Bersama kepala Desa Betaua 


Sampai Jumpa











Senin, 27 Maret 2017

Tentang Saya


Saya lahir di  desa Pusungi. Sebuah desa yang terletak di kawasan  Tanjung Api, teluk Tomini.  Tanjung Api adalah  kawasan yang memiliki gas api yang sangat tinggi di Sulawesi Tengah. Kawasan ini terletak di kabupaten Tojo Una-una. Dulu lokasi ini adalah hutan Cagar Alam Tanjung Api, dgn luas 4. 246 ha. Berdasarkan SK Menteri Pertanian No 91 tahun 1977 tanggal 21 Februari[1]. Ditetapkan sebagai CA Tanjung Api Sulawesi Tengah, sebagai perlindungan pada api alam dan gua air. Yang pada tahun 2006 kawasan Cagar Alam Tanjung Api ditetapkan  menjadi Bandara Tanjung Api.

Saya teringat ketika masih duduk di bangku Sekolah Menengah Kejuruan (SMK). Waktu itu saya mengambil Jurusan Pariwisata yang menjadi salah satu pilihan kunjungan wisata kami adalah di objek wisata Tanjung Api. Kami memustuskan untuk mengambil rute jalan kaki melintasi hutan Tanjung Api. Karena kata guru saya agar  kita dapat belajar sambil berjalan. Karena di hutan tanjung api terdapat berbagai flora fauna yang langkah dan unik saat . Yakni :

Flora      :    Ketam Kenari, Monyet Hitam, Burung Maleo dan Ular. (punah)
Fauna     :    Pangi, Kayu bayam, Siuri, Palapi dll. (terancam punah).

Juga di dalam kawasan hutan Tanjung Api terdapat  Gua air. Kenapa  dinamai sebagai Gua Air sebab di dalam Gua tersebut terdapat air yang menyerupai kolam. Menjadi tempat permandian saat mencari kayu saat menjelang Pramuka. Gua ini juga  di huni oleh  Kelelawar. 

Hamparan pasir putih, nampak ketika kita tiba di Tanjung Api. Dikatakan Tanjung Api  karena terdapat api yang tidak terlihat hanya terdengar suara gas di sepanjang pantai Tanjung Api. Kita akan melihat api ketika kita melemparan kayu kering di sumber suara gas.  Di ujung pantai di antara rimbun hutan  mata air  'tawar'  orang-orang menyebutnya  "Air Malu" sebab konon bila kita mandi telanjang airnya akan surut bahkan sampai kering. 

Pada saat  pembukaan lokasi Bandara  pertama kali, banyak binatang buas seperti Ular sawah, Babi Hutan, Rusa yg keluar dari kawasan hutan Tanjung Api sampai di kampung. Sampai ke  halaman rumah. 

Cerita mistik tentang hutan Tanjung Api kerap terdengar dari mulut masyarakat. Tentang makhluk jadi-jadian yang menyerupai Kera, bahkan sampai ada masyarakat yang menceritakan jikalau ia sempat di culik berminggu-minggu dan tinggal bersama Kera di tengah hutan.
Cerita mistik dan jatuhnya korban di lokasi pembangunan bandara membuat resah penduduk. Sehingga  dibuatlah upacara adat  pemotongan sapi dan kambing di lokasi pembangunan bandara sebagai bentuk acara membangun rasa toleransi antara penghuni hutan entah yang nyata maupun yang gaib. Sebab masyarakat percaya bahwa sebagian penghuni hutan adalah makhluk gaib yang menjaga hutan dan kampung. Dan bila upacara potong Sapi tidak segera dilakukan makan korban akan terus berjatuhan dan binatang buas akan semakin berkeliaran di kampung.
Hutan semakin sedikit terlihat dari atas pesawat, ketika saat landing dari Palu.  Hutan yg dulu kami jelajahi  tak  nampak hijau  dan luas lagi. Yang nampak hanya seperti garis yang ternyata adalah pepohonan Kelapa  yang sudah tidak lagi produktif.


Hutan dan Masa Kecil

Habitat hutan Tanjung Api tak lagi asing bagi kami. Setiap hari setelah pulang dari Sekolah kami selalu bermain ke dalam hutan, mencari jambu, mencari kelapa, mengejar ayam hutan, dan mengambil tongkat kayu. 


 

[1] http://telukpalu.com/2008/05/cagar-alam-tanjung-api/

Lelaki yang Menghabiskan Waktu Bersama Buku-Buku

 
(Sumber, IG Aan Mansyur)
Hampir  di setiap saat ketika aku hendak  mengujungi perpustakaan Nemu Buku yang terletak di jalan Tururuka, selalu saja nampak seorang laki-laki muda yang selalu sibuk di depan komputer yang terdapat di sudut ruangan perpustakaan,  tidak hanya sibuk mengetik ia juga sesekali mengambil buku yang terdapat di sisi meja komputer, ditulisnya buku itu dengan menggunakan pensil, dan sesekali berdiri mengambil buku-buku yang terdapat di rak-rak buku. Ya ia sedang mendata buku. Pekerjaan yang sudah hampir empat tahun ini ia geluti.

 Namanya Muzi. Sudah hampir setahun ini aku  mengenalnya. Perkenalan kami tidak seperti kisah-kisah orang-orang pada umumnya. Seperti bertemu di jalan, di pasar, di acara pesta teman, di acara kampus, di acara pentas seni atau diperkenalkan oleh teman. Perkenalan kami bisa di bilang terlalu kekinian. Ya.. berkenalan melalui  facebook.

Bermula dari sebuah tulisan yang ia terbitkan di akun facebook yang berjudul  “4 November, Damai”. Ia menulis  tentang pandangannya mengenai agama yang tidak bisa disangkutpautkan dengan politik . Yang saat itu berita  mengenai Ahok yang di tuduh menista agama Islam menjadi berita sangat hangat viral.

Saat itu dimana-dimana tempatku beranjak pergi selalu saja membicarakan tentang Ahok, ada yang pro dan ada yang kotra kepada Ahok. Bahkan di rumah tempat kita beristirahat juga membahas persoalan Ahok. Aku, Ibu dan Bapak di meja makan, depan televisi sampai di ruang tamu, hanya membicarakan masalah Ahok. Ibu, dengan naluri keibuannya merasa sangat kasihan melihat Ahok yang di hujat habis-habisan, bahkan ibu sempat meneteskan air mata ketika persidangan Ahok yang sangat drama menangis sambil memeluk saudara angkatnya yang menggunakan hijab.

Namun lepas dari itu, ibu juga sangat menyayangkan tindakan orang-orang yang ikut menghujat Ahok tapi tidak menjalankan kewajiban sebagai umat Islam, yakni sholat lima waktu, bersedekah, bahkan ibu melihat di televisi umat muslim pendukung MUI aksi sampai berbuat kriminal saat magrib. Apakah mereka tidak sholat? Tanya ibu kesal.

Sementara Ayah, melihat sosok Ahok dengan sangat bijak, menurut ayah Ahok tidak bermaksud untuk menghina agama Islam. Ahok, dari kaca mata ayah,  melihat niat Ahok hanya sebatas untuk membuka mata masyarakat untuk tidak terikat dalam surah Al-Maidah tentang  memilih calon pemimpin. Diluar bagaimana tindakan Ahok bertindak kriminal mada masyarakat  di Kampung Duri. Menurut Ayah, kisruh Ahok dituduh menista Agama adalah bagian dari perpolitikan dan ajang cari ketenaran. 

Dunia seakan sibuk membicarakan masalah politik, diranah keluarga sampai diranah sosial, membuatku jenuh, seakan krisis air, buta aksara dan krisis cinta tak adalagi.  Merasa jenuh, hingga menolak ajakan teman untuk aksi  membela Islam. Dan saat itu tak sengaja aku membaca tulisan Muzi, yang berisikan perdebatan-perdebatan dalam kolom komentar dengan pendapat masing-masing.

Sejak saat itulah saya tertarik melirik setiap tulisan yang ia terbitkan. Bahwa masih ada anak muda yang berpikiran terbuka tentang persoalan politik dan agama. Membuka pandangan tentang bagaimana Islam sebenarnya menyelesaikan persoalan dengan cara yang bijaksana. Agama Sosialis seperti bagaimana Karl Marx dan Nabi Muhammad mengajarkan tentang sosialis masyarakat tanpa kelas.

Kemudian kami  membahas segala hal tentang dunia sosial dan literasi, meskipun saat itu aku menaruh curiga pada belio, karena beberapa pertanyaan yang menurutku sangat aneh. Semisal tentang mengapa aku memilih bekerja seorang diri sebagai seorang guru yang mengajar pada sekolah yang non formal dan entah mengapa setelah beberapa kali pembicaraan kami memutuskan untuk menjadi partner dalam kegiatan sosial. Sampai pada kedatangan Komunitas Sahabat Pulau Palu di Desa Betaua tempatku bekerja. Mengenal sosok Muzi adalah keniscayaan. Ia  telah  banyak memberikan dampak positif bagi diriku. Bisa berkenalan dengan banyak komunitas, meningkat minat baca pada diriku, minat menulis, dan berkegiatan sosial yang benar-benar sosial tanpa uang, dan hanya bermodalkan semangat. 

Darinya juga aku mengenal tentang dunia Literasi, yang sekarang ia geluti. Sejak duduk di bangku sekolah aku hanya mengetahui bahwa pendidikan itu penting, sebab itulah aku selalu rajin belajar dan tak pernah keluar dari peringkat lima besar. Dari semangat kejarlah cita-cita sampai ke negeri Cina sepertiyang selalu diutarakan Ayah, aku nekat untuk mengenyam pendidikan di Mts. Alkhairaat Pusat Palu, meskipun bagiku itu sangat sulit, karena harus berpisah dengan orang tua, saudara, meninggalkan kampung halaman dan teman-teman bermain.
             
Sebagai anak bungsu berpisah dengan keluarga adalah cobaan yang sangat besar, yang harus dilalui dengan lapang. Tinggal  bersama keluarga  yang baru di kenal, meskipun memiliki tali kekeluargaan, pun harus menambah kesabaran yang sangat. Di lilit dengan aturan-aturan rumah yang baru, serta keterbatasan untuk bergaul, menyelesaikan semua pekerjaan yang tak pernah dilakukan di rumah menambah kesabaran dan melatih mental saya untuk menjadi anak yang mandiri dan tidak manja.  

Mungkin kurang lebih sama dengan yang dirasakan Muzi, yang juga memilih berpisah dengan keluarganya sejak lepas  Sekolah Dasar. Tetapi  agak berbeda karena lepas  Mts (baca SMP) aku memilih untuk melanjutkan Sekolah Menengah Atas (SMA) di kampung halaman. Pilihan itu bukan karena tanpa alasan, karena tak ada pilihan untukku yang masih hidup dalam lingkaran budaya patriarki. Yang  saat itu kehidupanku sepenuhnya di atur oleh ayah, dan kakak lelakiku.

Sejak kuliah tak sengaja aku membaca beberapa buku tentang budaya patriarki. Aku mulai membangkang mencari jalan hidup ku sendiri, meski harus merasakan kelaparan di kos hanya untuk mencari jati diriku sendiri. Meskipun sampai sekarang tak bisa di pungkiri  aku masih terlilit dengan budaya patriarki. Semisal ketika buat status di facebook yang terus di kontrol oleh saudara. Juga di emban dengan tanggung jawab yang lahir dari budaya patriarki, meskipun ku tahu itu adalah bagian dari bentuk perhatian.

Mengenal  Muzi, membuka lebar-lebar pandangan ku tentang tanggung jawab, dan pilihan hidup. Muzi memilih untuk menghabiskan waktunya dengan menjadi relawan di dunia literasi. Tentunya sebagai anak laki-laki tertua dalam keluarga adalah tanggung jawab yang harus di emban. Tetapi menjadikan masyarakat lebih cerdas lebih berat dari tanggung jawab apapun. Dan memilih untuk menyepi di antara buku-buku adalah keniscayaan. Untuk itu saya ucapkan selamat hari raya NYEPI.

Sabtu, 25 Maret 2017

Perempuan, Kekerasan dan Kemiskinan

Mengapa saya  menulis ?
Semua orang bisa menulis, tetapi untuk apa, dan untuk  siapa kita  menulis ? apakah hanya sekedar hobi mencakar-cakar kertas, hobi menulis status di media sosial  menyampaikan pesan. Maka  jawablah pertanyaan yang dilontarkan oleh si pemilik pertanyaan alasan apa yang membuat kita harus menulis. 

Sebuah status di akun facebook dengan nama pemilik akun Parveen Mohammad  yang tak lain adalah pemilik perpustakaan  Mini Nemu Buku yang sering saya kunjungi ketika saya berada di Palu. Isi dari kabar  berita tersebut tentang akan dibukanya kelas menulis pada 23 Maret 2017 bersama Aan Mansyur. di Nemu Buku. tetapi sayang saya tak bisa hadir dalam kegiatan tersebut. kegiatan itu mengangkat tema  tentang  ‘alasan mengapa kita harus menulis?’

Mengapa kita harus menulis ? sebuah pertanyaan yang menggerakkan hati dan tangan saya untuk mengambil laptop dan menuliskan alasan mengapa saya harus menulis. Apa sebenarnya tujuan dari menulis, apakah hanya sekedar hobi atau ada pesan yang ingin disampaikan pada tulisan  tersebut. Banyak orang termasuk saya salah satunya sangat suka menulis status di media sosial, baik facebook, instagram, twiter dll. Tapi apakah status-status tersebut tersiratkan pesan pada siapa yang membaca? Atau hanya sekedar curhat dan lapor ketika berada di suatu tempat atau hanya sekedar mengumbar kegiatan sehari-hari.

Menulis untuk perubahan. Kesimpulan yang dapat saya petik seteleh menonton film Freedom Writer  adalah kisah seorang guru muda yang  menginspirasi siswa-siswi yang tumbuh dalam kekerasan sejak kecil, yang kemudian  belajar toleransi, membangun  rasa percaya diri dengan menulis dan membuat perubahan di seluruh dunia tentang toleransi dalam keberagaman.
 
Selama ini yang menjadi pertanyaan dalam hidup saya, apakah saya sudah menulis untuk perubahan ? Impian dari banyak penulis adalah menginginkan apa yang telah ia tulis itu dapat di baca dan dinikmati oleh banyak orang, bahkan mampu mengubah seseorang lewat apa yang ia tulis entah itu berupa cara pandang, pemahaman tetang dunia  dll.

 Baik penulis buku pelajaran Sekolah, Novel, Komik, atau Resep Makanan, semua menginginkan hal yang sama. Bagaimana agar  tulisannya bisa dinikmati dan berguna bagi halayak ramai. Begitupun yang diharapkan oleh para peneliti. Setelah melakukan riset di pelosok-pelosok negeri selama betahun-tahun, mereka berharap hasil riset tersebut  dapat di baca dan  menjadi acuan bagi para periset-periset berikutnya. 

Riset dan Perubahan Sosial

Dalam setahun menjalani riset di kampung, tentunya banyak kendala yang saya temui di lapang. Dari masalah pribadi, keluarga, sampai pada urusan masyarakat. Riset yang konsen pada  kehidupan perempuan dan krisis sosial ekologi, menarik saya untuk masuk ke dalam krisis tersebut. Semisal merasakan kelaparan, turut mencari kayu bakar, mandi, mencuci, dan buang hajat di sungai, menanam jagung, mengikuti hajatan, dan memasak, membersihkan rumah, mencuci, menjadi tukang ojek  serta menjaga anak.

Sebab menurut saya riset tidak hanya sekedar datang dan memperhatikan semua apa yang dilakukan orang-orang dikampung, dan memperhatikan perubahan lancscape yang terjadi di kampung dari masa ke masa. Tetapi periset juga harus merasakan apa yang di rasakan oleh masyarakat. Bahwasanya masyarakat atau narasumber tidak dijadikan sebagai objek, tetapi dijadikan sebagai subjek.

 Seperti para periset pada umumnya, datang dan pergi setelah mengumpulkan data seperti kata bapak Gunawan Wiradi, janganlah kamu menjadi peneliti yang hanya datang menambang ilmu pengetahuan pada masyarakat, tetapi datanglah untuk berbagi ilmu pengetahuan.

Riset yang masih dalam proses ini  terfokus pada kehidupan perempuan dan krisis sosial ekologi, namun dalam hal ini krisis  tidak hanya di lihat dari  kerusakan bentang alam, atau teralienasinya perempuan dari ruang produksinya tetapi kami melihat krisis dari  ranah keluarga. Akan tetapi banyak orang beranggapan bahwa krisis ekologi adalah sebuah perubahan bentang alam yang rusak karena adanya pertambangan atau karena hadirnya perkebunan sawit dalam skala besar.

Selama setahun berada di kampung saya ingin menceritakan sedikit tentang bagaimana krisis yang dihadapi para perempuan bila dilihat dari ranah keluarga. Seperti kata teman saya Nyak Moi dalam pertemuan Metodologi Penelitian di Bogor, bahwa sebenarnya krisis yang dirasakan perempuan itu  di mulai dari sejak mata hari terbit  sampai  mata suami terbenam.

Dari sebelum matahari terbit perempuan di kampung sudah melakukan aktifitas di dapur. Yakni  memasak, mencuci, membersihkan rumah, menyiapkan makanan, mengurus anak. dan saat siang hari perempuan di kampung sudah mesti pergi ke ladang, sampai terbenam matahari kembali lagi di rumah mengerjakan pekerjaan domestik sampai mengurus suami di ranjang. Begitu seterusnya.

Maka tidak heran ketika perempuan di kampung tak akan kita temui pada waktu siang hari, sebab mereka sibuk di ladang. Perempuan di kampung tak akan kita temui pada saat malam hari, sebab mereka kelelahan dari ladang dan harus menyelesaikan pekerjaan domestik. Perempuan di kampung tak akan terdengar suaranya ketika ada pertemuan-pertemuan di desa karena suara peremuan di anggap tidak penting dalam pengambilan keputusan.

Beban ganda. Begitu ketika saya melihat kehidupan perempuan di kampung. Yang sejak lama dan telah mengakar sampai sekarang, terus  mengalami ketertindasan dalam hal hal produksi  dan reproduksi sosial. Perempuan harus melayani suami, mengurus anak, pergi ke ladang, memikirkan segala sesuatu ada dan tidak ada untuk di makan, sampai pada urusan seks (reproduski).

Belum lagi diskriminasi yang di hadapi oleh perempuan bila di tarik dalam konteks relasi kuasa. Dalam hal ini semisal contoh  kuasa seorang bapak pada anak perempuannya, yang melarang anak perempuan untuk tidak mengenyam pendidikan di luar kota atau mengenyam pendidikan yang tinggi.  Kuasa seorang suami pada istrinya, semisal contoh, segala sesuatu yang dikatakan suami harus dipatuhi  karena menganggap dirinya sebagai kepala keluarga. Relasi kuasa pemimpin kampung (laki-laki) yang masih menomorduakan perempuan sehingga perempuan tidak pernah terlibat dalam pengambilan keputusan.
Kekerasan terhadap perempuan atas nama relasi kuasa sampai saat ini masih terjadi di depan mata,  seperti kasus yang di alami oleh Manda seorang wartawati asal Ruteng NTT yang bekerja  pada harian Palu ekspres  yang tewas di tangan suaminya sendiri[1].

Tingkat kekerasan di Sulawesi Tengah paling tinggi dialami oleh perempuan dan anak. Data kasus oleh Badan pemberdayaan Perempuan dan Keluarga berencana (BPPKB)  Provinsi Sulawesi Tengah menyatakan sejak tahun 2015 mencapai 117 kasus dan pada 2016 mencapai 305 kasus (Antarasulteng.com).

Menurut Ketua Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Provinsi Jawa Barat Netty Heryawan mengatakan akar penyebab tindakan kekerasan adalah kemiskinan.  Hal ini didukung oleh pernikahan dini, disharmoni dan kesalahan pola pengasuhan anak,  konsumsi minuman keras dan pornografi dikarenakan karena masalah ekonomi atau masalah perubahan sosial yang berdampak pada perempuan[2].

Di Sulawesi Tengah angka kemiskinan menurut data Badan Pusat Statistik Provinsi Sulawesi Tengah jumlah penduduk miskin mengalami peningkakatan di tahun 2015. Yakni mencapai 1,06 persen dari tahun-tahun sebelumnya. di tahun 2014 tingkat kemiskinan mencapai -0,32 %.

Kemiskinan yang semakin tinggi ini juga berdampak pada semakin tingginya pernikahan anak. Di kota Palu adalah wilayah   dengan angka pernikahan anak tertinggi [3]. Kepala Badan Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana Kota Palu, Irmayanti Pettalolo, di Palu, Selasa (26/7/2016), mengakui tingginya perkawinan dini tersebut terjadi di daerah itu.

Selain karena pergaulan bebas berita yang di muat oleh Okezone.com itu juga menuliskan tentang pendapat pembina forum anak dan pelatihan kepemimpinan perempuan bahwa kasus kawin anak tersebut juga disebabkan karena faktor kemiskinan.

Dalam buku diskursus kekuasaan dan praktik kemiskinan di pedesaan, Ivanovich Agusta menuliskan bahwa  kemiskinan muncul sebagai konsekuensi interaksi kelas bawah (Marhein, kromo, petani kecil, buruh tani dan sebagainya). Dengan kelas atas dari masyarakat kapitalis dan feodal.

Maka tak heran bila banyak perempuan kampung yang setiap hari bekerja selalu dikategorikan miskin.  pengaruh kapital yang masuk di perkampungan memaksa perempuan untuk bekerja lebih keras, hanya untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga yang diciptakan oleh industri kapital. Begitupun di ladang, perempuan harus bersaing dengan kerja mesin-mesin yang pada kenyataannya mesin-mesin tersebut mampu mengalienasi perempuan dari ruang produksinya.

 Semakin masifnya  perampasan-perampasan tanah yang terjadi di kampung, memaksakan perempuan-perempuan kampung untuk menjadi buruh imigran. Karena tak ada pilihan lain. Ivanovich juga menuliskan bagaimana kisah perempuan yang memilih menjadi buruh migran karena tak ada lahan untuk dikelolah dan hanya untuk pergi mencari uang untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga.

Dalam pertemuan kami di Bogor untuk membahas mengenai Metodologi Penelitian pada 1-7 Maret di rumah belajar Malabar 22 ‘Sajogyo Institute’ ada pesan yang selalu mengantui saya. Pesan dari  Prof. Sajogyo tinggalah pada yang miskin atau yang paling miskin di kampung, maka kau akan tahu berapa jumlah beras yang mereka makan setiap harinya.








[1] (baca http://www.moriwana.com/kematian-manda-memaafkan-sisi-religius-proses-hukum-tetap-berjalan)

[2] http://bp3akb.jabarprov.go.id/netty-penyebab-kekerasan-adalah-kemiskinan/
[3] http://news.okezone.com/read/2016/07/26/340/1447030/palu-termasuk-wilayah-dengan-angka-pernikahan-dini-tertinggi

Bersekolah di Masa Pandemi

 Setalah hampir dua tahun sekolah diliburkan akibat covid, akhirnya pada  senin 30 Agustus 2021 sekolah kembali dibuka untuk wilayah Tojo Un...