Banggai, 17 Februari 2017
Senja di Rezeki Baru
Ku tinggalkan semua resahku di pelabuhan Banggai
Ku bawah resah itu mengelilingi Pulau
Resah yang ku buat
sendiri
Resah yang mungkin tak akan pernah hilang
Kuntinggalkan semua
rindu di Pelabuhan Banggai
Biarkan tenggelam bersama ombak
Ku rindu
benar-benar rindu
Tak ada yang bisa menghapusnya
Meski di terjang
ombak,
Tenggelam, menjadi pasir
Ku tetap resah dalam penat.
hi.. welcome to my blog.. Blog ini berisi pikiran (ide), pengalaman dan cerita fiksi dan fakta tentang seorang perempuan yang tinggal disebuah desa di pesisir bersama keluarga kecilnya.
Selasa, 28 Maret 2017
BISU
Palu, 19 Januari 2017
Menuju malam..
Rindu tak bertepi..
Hanya sekedar ingin melihatmu bersama malam, kala pagi datang.
Kita pergi, dan hilang di sapu matahari.
Mari teguk kopi.
Menjelma, bisu, hilang dan mati.
Harapan
Puisiku
Harapan
Poso, 30 Oktober 2016
21.20
Aku pernah berfikir tentang bagaimna cara siang meninggalkan malam.
Dan malam yang selalu meninggalkan siang.
Mereka tak pernah berjalan beriringan.
Tentang perempuan dan laki2 yg di ciptakan berbeda beda.
Tentang pagi yg tak pernah bertemu senja.
Tentang pelangi yg enggan datang pada saat hujan trun dan matahari bersinar.
Aku cemburu pada lautan yg selalu setia menunggu datangnya sungai.
Sayang.. kita memang berbeda.
Tapi maukah kau menjadi laut, yg selalu membuka lebar dirinya kepada sungai.??
ASA
Banggai, 09 Februari 2017, 5:24
Aku tak bisa membuat puisi, sebab aku tahu kaulah puisi itu.
aku tak bisa mendeskripsikan rindu, karena kaulah rindu itu.
Biarlah aku menikmati laut, senja, bersama imaji.
Menunggu kekasih yg di pergi bersama ombak..
BERBAGI PENGETAHUAN DENGAN CINTA
"Cerita Kita, tentang Kampung, Harapan dan Cita-cita"
Cerita dari Desa Betaua
Datang
dan pergi bersama kabut. Begitulah situasi cuaca yang menyambut
kedatangan kakak-kakak Sahabat Pulau Palu saat memasuki desa Betaua,
kepulangan mereka pun demikian. Dalam kabut, Bus yang mereka tumpangi
perlahan meninggalkan kami yang masih berdiri di jalan raya melepas
kepergian kakak-kakak yang kece, dan baik hati.
Kakak-kakak Sahabat Pulau sedang menjelaskan mengenai perilaku hidup bersih dan sehat di Sekolah Dasar Negeri Betaua. |
Kedatangan Komunitas Sahabat Pulau Palu di Desa Betaua pada 23-25 Desember 2016, membawa energi positif bagi masyarakat desa Betaua. Dari serangkaian kegiatan yang positif tersebut mereka juga membagikan ilmu yang sangat bermanfaat bagi anak-anak, perempuan serta masyarakat desa Betaua, yang sampai sekarang masih menjadi pembicaraan hangat di kalangan masyarakat.
Bagaimana tidak, setelah mengikuti pelatihan yang di fasilitasi oleh Komunitas Sahabat Pulau, ibu-ibu sangat antusias untuk meneruskan dan mengembangkan ilmu yang mereka dapatkan saat pelatihan. Salah satu ilmu yang sudah dikembangkan dari hasil kunjungan tersebut adalah pembuatan keripik bawang.
Tepat pada tanggal 12 Februari melalui akun facebooknya Ibu kepala desa memasarkan keripik bawang hasil buatan ibu-ibu PKK, yang dikerjakan secara bersama-sama dan di kemas pula dengan kemasan pemberian dari sahabat Pulau Palu, sebagai bentuk semangat agar ibu-ibu terus meneruskan usaha tersebut.
Bagaimana tidak, setelah mengikuti pelatihan yang di fasilitasi oleh Komunitas Sahabat Pulau, ibu-ibu sangat antusias untuk meneruskan dan mengembangkan ilmu yang mereka dapatkan saat pelatihan. Salah satu ilmu yang sudah dikembangkan dari hasil kunjungan tersebut adalah pembuatan keripik bawang.
Tepat pada tanggal 12 Februari melalui akun facebooknya Ibu kepala desa memasarkan keripik bawang hasil buatan ibu-ibu PKK, yang dikerjakan secara bersama-sama dan di kemas pula dengan kemasan pemberian dari sahabat Pulau Palu, sebagai bentuk semangat agar ibu-ibu terus meneruskan usaha tersebut.
![]() |
Ibu-ibu PKK sedang membuat dan mengemas keripik bawang.
(Sumber akun facebook Ibu Ernawati). |
Menurut Bapak kepala desa, bahwa hasil dari penjualan kripik bawang itu sekitar Rp. 800.000 yang akan menjadi tabungan serta modal awal bagi ibu-ibu PKK untuk dapat terus mengembangkan produk keripik bawang tersebut.
Tidak hanya itu kepala desa juga mengungkapkan, bahwa usaha home industri ibu-ibu PKK Betaua akan bekerja sama dengan BUMDES (Badan Usaha Milik Desa) dan DEKRANASDA (Dewan Kerajinan Nasional Daerah) Kabupaten Tojo Una-una. Semangat pemerintah desa Betaua dalam mengembangkan usaha ini tak luput dengan cita-cita pemerintah desa untuk mensejahterakan masyarakatnya khusunya perempuan, yang di anggap memiliki potensi untuk berkembang namun terkendala dalam hal kreatifitas dan modal. Seperti yang dicita-citakan oleh Komunitas Sahabat Pulau Palu, yakni mencerdaskan dan mensejahterakan bangsa.
Betaua yang termasuk salah satu desa yang memproduksi bawang di Kabupaten Tojo Una-una tidak hanya sampai pada produksi bawang menjadi kripik, tapi juga mendorong agar desa Betaua menjadi desa yang mandiri secara ekonomi di sektor pertanian bawang secara Nasional.
Di kalangan anak-anak kehadiran Sahabat Pulau Palu benar-benar mendapatkan tempat yang baik di hati mereka. Setelah kepergian kakak-kakak SP kami membuat pertemuan membaca setiap seminggu sekali di luar ruangan, di halaman sekolah, di kebun, di pasar dll. Buku-buku yang kami baca adalah buku-buku pemberian dari kakak-kakak Sahabat Pulau, yang tidak hanya sebatas membaca tetapi kemudian kami mendiskusikan apa yang telah kami baca bersama.
Tidak hanya itu kepala desa juga mengungkapkan, bahwa usaha home industri ibu-ibu PKK Betaua akan bekerja sama dengan BUMDES (Badan Usaha Milik Desa) dan DEKRANASDA (Dewan Kerajinan Nasional Daerah) Kabupaten Tojo Una-una. Semangat pemerintah desa Betaua dalam mengembangkan usaha ini tak luput dengan cita-cita pemerintah desa untuk mensejahterakan masyarakatnya khusunya perempuan, yang di anggap memiliki potensi untuk berkembang namun terkendala dalam hal kreatifitas dan modal. Seperti yang dicita-citakan oleh Komunitas Sahabat Pulau Palu, yakni mencerdaskan dan mensejahterakan bangsa.
Betaua yang termasuk salah satu desa yang memproduksi bawang di Kabupaten Tojo Una-una tidak hanya sampai pada produksi bawang menjadi kripik, tapi juga mendorong agar desa Betaua menjadi desa yang mandiri secara ekonomi di sektor pertanian bawang secara Nasional.
Di kalangan anak-anak kehadiran Sahabat Pulau Palu benar-benar mendapatkan tempat yang baik di hati mereka. Setelah kepergian kakak-kakak SP kami membuat pertemuan membaca setiap seminggu sekali di luar ruangan, di halaman sekolah, di kebun, di pasar dll. Buku-buku yang kami baca adalah buku-buku pemberian dari kakak-kakak Sahabat Pulau, yang tidak hanya sebatas membaca tetapi kemudian kami mendiskusikan apa yang telah kami baca bersama.
![]() |
Kegiatan penanaman pohon di lapangan Betaua |
Demikian pula mengenai apa fungsi mangrove yang dijelaskan oleh Kak Muzi saat penanaman mangrove di pantai. Sehingga sangat membantu membangun kesadaran kritis anak-anak mengenai mengapa pohon penting untuk di tanam, di rawat, dan di jaga.
Maka dari itu pohon yang di tanam di lapangan Desa Betaua di jaga, tidak hanya oleh anak-anak juga masyarakat Betaua. Mereka melindungi pohon yang sudah di tanam bersama-sama kakak-kakak Sahabat Pulau, dengan memagari agar tidak di makan oleh sapi dan kambing. Setiap hari tanpa diingatkan anak-anak selalu menyirami pohon yang sudah jauh-jauh di bawah oleh kakak-kakak Sahabat Pulau Palu tersebut.
Anak-anak desa Betaua sangat terinspirasi pada cita-cita dan semangat kakak-kakak Sahabat Pulau yang sangat besar. Semangat tersebut mereka tuangkan dalam sebuah surat. Surat ini terinspirasi dari cerita kak Windha tentang cita-citanya yang sangat tinggi pada empat orang anak di bawah pohon mangga siang itu sebelum keberangkatan balik ke Palu.
Salah satunya adalah Uwam, anak laki-laki yang berusia 9 tahun. Siang itu, pasca keberangkatan Kakak-kakak Sahabat Pulau ke Palu. Ketika saya sedang memarkir sepeda motor di bawah pohon mangga, seorang anak menyapaku dengan begitu semangat.
"Kak Rara sudah saya buat surat buat kak Windha. Terus mau di kirim lewat mana?" tanya Uwam. Kemudian ia berlari menuju rumahnya dan kembali dengan selebar kertas putih ditangannya. Diserahkannyalah kertas itu padaku
‘O.. ini surat Uwam, pintar sekali Uwam membuat surat," Kataku pada Uwam yang saat itu masih berdiri disampingku.
Surat tanpa amplop itu dilipatnya dengan sangat rapi. Di atasnya tertulis dari Uwam, buat Kak Windha.
Surat tanpa amplop itu dilipatnya dengan sangat rapi. Di atasnya tertulis dari Uwam, buat Kak Windha.
“Kata kak Windha saya akan diberikan hadiah. Lantas bagaimana cara mengirimkan hadiahnya? Apa mungkin bisa lewat Internet?" Uwam kembali bertanya. Kali ini dengan wajah yang semakin tampak bingung karena kataku surat Uwam akan dikrim melalui internet.
Uwam terinspirasi menuliskan surat kepada kak Windha, lantaran siang itu ia mendengar kisah Kak Winda yang bertemu dengan pengisi suara film Naruto hanya karena menuliskan surat sebagai penggemar Naruto, juga diyakinkan dengan foto yang diperlihatkan Kak Windha kepada Uwam dan teman-temannya. Dari perbincangan itu mereka berjanji akan saling berbalas surat, dan kak Windha Akan membalas surat Uwam di sertai dengan hadiah.
Begini isi surat Uwam..
Buat Kak Winda..
Aku setiap sore bermain takraw, dan aku suka sekali bermain bersama para sahabat sejatiku. Aku suka membaca dan menulis, dan aku bangga bisa sekolah. Aku suka menanam pohon, buah-buahan, dan umbi-umbian. Aku juga suka memelihara hewan seperti ayam. Dulu aku sering kali menyapu halaman rumahku, agar terlihat indah dan tidak ada kotoran yang menumpuk seperti bungkusan permen dan tempat minuman.
Aku juga suka menonton film sinetron anak jalanan dan film naruto. Aku bangga mempunyai cita-cita. Oh. Iya nama asliku Nurham.
Betaua, 25 Desember 2016.
Nurham atau Uwam.
Uwam terinspirasi menuliskan surat kepada kak Windha, lantaran siang itu ia mendengar kisah Kak Winda yang bertemu dengan pengisi suara film Naruto hanya karena menuliskan surat sebagai penggemar Naruto, juga diyakinkan dengan foto yang diperlihatkan Kak Windha kepada Uwam dan teman-temannya. Dari perbincangan itu mereka berjanji akan saling berbalas surat, dan kak Windha Akan membalas surat Uwam di sertai dengan hadiah.
Begini isi surat Uwam..
Buat Kak Winda..
Aku setiap sore bermain takraw, dan aku suka sekali bermain bersama para sahabat sejatiku. Aku suka membaca dan menulis, dan aku bangga bisa sekolah. Aku suka menanam pohon, buah-buahan, dan umbi-umbian. Aku juga suka memelihara hewan seperti ayam. Dulu aku sering kali menyapu halaman rumahku, agar terlihat indah dan tidak ada kotoran yang menumpuk seperti bungkusan permen dan tempat minuman.
Aku juga suka menonton film sinetron anak jalanan dan film naruto. Aku bangga mempunyai cita-cita. Oh. Iya nama asliku Nurham.
Betaua, 25 Desember 2016.
Nurham atau Uwam.
Demikianlah secarik surat Uwam yang ditujukan kepada kakak Windha. Sebelum surat ini lahir, di bawah pohon mangga yang rindang telah terjadi perbincangan antara kami, yakni Kak Muzi dan kak Windha, Mustafa, Uwam, dan dua temannya.
Kakak Windha dan Kakak Muzi (Betaua, 25/12/2016) |
"O.. iya nanti kalau kalian mengirim surat akan kakak Windha balas suratnya dan akan kak Windha berikan hadiah," kata Kak Windha kepada ke empat anak tersebut siang itu.
"Nanti yang ditulis tentang kegiatan sehari-hari dan tentang lingkungan yah.."
kak Windha menimpali.
Selain itu pula Kak Windha juga menjelaskan tentang bagaimana pentingnya menjaga kesehatan dengan cara selalu memotong kuku yang sudah panjang. Sembari kak Windha memberikan contoh dengan memperlihatkan kukunya yang nampak bersih dan mengkilat, begitu juga kak Muzi yang tak mau kalah juga memperilhatkan kuku-kukunya.
"Kalian jangan lupa potong kuku yah, agar kuman-kuman tidak masuk ke perut yang akan mengakibatkan cacingan." Tutur Windha yang hendak beranjak dari tempat duduknya. Karena bus yang mereka tumpangi akan segera berangkat.
"Ah.. nanti kalau kita berkirim surat lewat mana?" Tanya Uwam dengan wajah bingung.
"Ah.. nanti kalau kita berkirim surat lewat mana?" Tanya Uwam dengan wajah bingung.
"Nanti surat kamu diberikan sama kak Rara yah Uwam, dan oleh kak Rara akan kirim lewat email." Jawab Kak Windha.
Uwam pun semakin kebingungan tentang internet dan email. (Pembelajaran menganai IT akan menjadi pembelajaran kita pada pertemuan selanjutnya).
Betaua, 7 Januari 2017. Petang hari kami kembali membaca dan membahas mengenai surat menyurat. Aco, Munif, Fadli, Arul, Iman, Via dan anak-anak yang lainnya mengutarakan keinginan mereka untuk menulis surat. Semangat menulis surat ini rupanya terpengaruh dari Uwam. Sehingga mereka mulai terpanggil untuk menuliskan surat yang berisikan kegiatan sehari-hari, dan harapan serta cita-cita, seperti yang terdapat di majalah Bobo dan Kuark yang kami baca.
Betaua, 7 Januari 2017. Petang hari kami kembali membaca dan membahas mengenai surat menyurat. Aco, Munif, Fadli, Arul, Iman, Via dan anak-anak yang lainnya mengutarakan keinginan mereka untuk menulis surat. Semangat menulis surat ini rupanya terpengaruh dari Uwam. Sehingga mereka mulai terpanggil untuk menuliskan surat yang berisikan kegiatan sehari-hari, dan harapan serta cita-cita, seperti yang terdapat di majalah Bobo dan Kuark yang kami baca.
Kegiatan membaca.
Lokasi Pasar desa Betaua.
|
Dampak positif dari kedatangan Sahabat Pulau Palu di desa kami, tidak hanya bercerita tentang Pohon. Kakak-kakak Sahabat Pulau juga mengajarkan bagaimana cara membedakan antara sampah organik dan sampah non organik serta cara pengelolaan sampah basah dan kering, sampai pada bagaimana cara pengelolaan sampah kering sehingga menjadi sesuatu yang berguna dan bermanfaat.
Pun mengenai bagaimana menjaga kesehatan dengan mencuci tangan dengan baik dan benar, menggunakan sabun dan harus di air yang mengalir, menjadi materi yang sangat manarik dalam kunjungan sahabat Pulau Palu yang hanya dua hari di desa Kami.
Sampai disini dulu yah kak surat kami. Satu hal yang ingin kami sampaikan, pengalaman serta ilmu yang bermanfaat ini, tak akan kami lupakan, juga akan selalu kami praktekkan dalam kehidupan sehari-hari, sehat selalu kakak-kakak sahabat Pulau Palu. Semoga semesta dapat mempertemukan kita semua dalam keadaan sehat, sehingga kita bisa berenang dan senam sehat bersama kembali yah, kak. Oh iya.. sekarang sedang musim kelapa muda loh..
Gambar V. Penutupan dan Foto Bersama kepala Desa Betaua |
![]() |
Sampai Jumpa |
Senin, 27 Maret 2017
Tentang Saya
Saya lahir di desa Pusungi. Sebuah desa
yang terletak di kawasan Tanjung Api, teluk Tomini. Tanjung Api
adalah kawasan yang memiliki gas api yang sangat tinggi di Sulawesi
Tengah. Kawasan ini terletak di kabupaten Tojo Una-una. Dulu lokasi ini adalah
hutan Cagar Alam Tanjung Api, dgn luas 4. 246 ha. Berdasarkan SK Menteri
Pertanian No 91 tahun 1977 tanggal 21 Februari[1].
Ditetapkan sebagai CA Tanjung Api Sulawesi Tengah, sebagai perlindungan pada
api alam dan gua air. Yang pada tahun 2006 kawasan Cagar Alam Tanjung Api
ditetapkan menjadi Bandara Tanjung Api.
Saya teringat ketika masih duduk di bangku Sekolah Menengah Kejuruan (SMK). Waktu itu saya
mengambil Jurusan Pariwisata yang menjadi salah satu pilihan kunjungan wisata kami adalah di objek
wisata Tanjung Api. Kami memustuskan untuk mengambil rute jalan kaki melintasi
hutan Tanjung Api. Karena kata guru saya agar kita dapat belajar sambil berjalan. Karena di
hutan tanjung api terdapat berbagai flora fauna yang langkah dan unik saat .
Yakni :
Flora : Ketam
Kenari, Monyet Hitam, Burung Maleo dan Ular. (punah)
Fauna : Pangi, Kayu bayam, Siuri, Palapi dll. (terancam punah).
Fauna : Pangi, Kayu bayam, Siuri, Palapi dll. (terancam punah).
Juga di dalam kawasan hutan Tanjung Api
terdapat Gua air. Kenapa dinamai sebagai Gua Air sebab di dalam Gua
tersebut terdapat air yang menyerupai kolam. Menjadi tempat permandian saat
mencari kayu saat menjelang Pramuka. Gua ini juga di huni oleh
Kelelawar.
Hamparan pasir putih, nampak ketika kita tiba di Tanjung Api. Dikatakan Tanjung Api karena terdapat api yang tidak terlihat hanya terdengar suara gas di sepanjang pantai Tanjung Api. Kita akan melihat api ketika kita melemparan kayu kering di sumber suara gas. Di ujung pantai di antara rimbun hutan mata air 'tawar' orang-orang menyebutnya "Air Malu" sebab konon bila kita mandi telanjang airnya akan surut bahkan sampai kering.
Pada saat pembukaan lokasi Bandara pertama kali, banyak binatang buas seperti Ular sawah, Babi Hutan, Rusa yg keluar dari kawasan hutan Tanjung Api sampai di kampung. Sampai ke halaman rumah.
Cerita mistik tentang hutan Tanjung Api kerap terdengar dari mulut masyarakat. Tentang makhluk jadi-jadian yang menyerupai Kera, bahkan sampai ada masyarakat yang menceritakan jikalau ia sempat di culik berminggu-minggu dan tinggal bersama Kera di tengah hutan.
Cerita mistik dan jatuhnya korban di lokasi
pembangunan bandara membuat resah penduduk. Sehingga dibuatlah upacara
adat pemotongan sapi dan kambing di lokasi pembangunan bandara sebagai
bentuk acara membangun rasa toleransi antara penghuni hutan entah yang nyata
maupun yang gaib. Sebab masyarakat percaya bahwa sebagian penghuni hutan adalah
makhluk gaib yang menjaga hutan dan kampung. Dan bila upacara potong Sapi tidak
segera dilakukan makan korban akan terus berjatuhan dan binatang buas akan
semakin berkeliaran di kampung.
Hutan semakin sedikit terlihat dari atas pesawat,
ketika saat landing dari Palu. Hutan yg dulu kami jelajahi
tak nampak hijau dan luas lagi. Yang nampak hanya seperti garis yang
ternyata adalah pepohonan Kelapa yang sudah tidak lagi produktif.
Hutan dan Masa Kecil
Habitat hutan Tanjung Api tak lagi asing bagi kami. Setiap hari setelah pulang dari Sekolah kami selalu bermain ke dalam hutan, mencari jambu, mencari kelapa, mengejar ayam hutan, dan mengambil tongkat kayu.
[1] http://telukpalu.com/2008/05/cagar-alam-tanjung-api/
Lelaki yang Menghabiskan Waktu Bersama Buku-Buku
![]() |
(Sumber, IG Aan Mansyur) |
Namanya Muzi. Sudah hampir setahun ini aku mengenalnya. Perkenalan kami tidak seperti kisah-kisah orang-orang pada umumnya. Seperti bertemu di jalan, di pasar, di acara pesta teman, di acara kampus, di acara pentas seni atau diperkenalkan oleh teman. Perkenalan kami bisa di bilang terlalu kekinian. Ya.. berkenalan melalui facebook.
Bermula
dari sebuah tulisan yang ia terbitkan di akun facebook yang berjudul “4 November, Damai”. Ia menulis tentang pandangannya mengenai agama yang
tidak bisa disangkutpautkan dengan politik . Yang saat itu berita mengenai Ahok yang di tuduh menista agama
Islam menjadi berita sangat hangat viral.
Saat itu dimana-dimana
tempatku beranjak pergi selalu saja membicarakan tentang Ahok, ada yang pro dan
ada yang kotra kepada Ahok. Bahkan di rumah tempat kita beristirahat juga
membahas persoalan Ahok. Aku, Ibu dan Bapak di meja makan, depan televisi
sampai di ruang tamu, hanya membicarakan masalah Ahok. Ibu, dengan naluri
keibuannya merasa sangat kasihan melihat Ahok yang di hujat habis-habisan,
bahkan ibu sempat meneteskan air mata ketika persidangan Ahok yang sangat drama
menangis sambil memeluk saudara angkatnya yang menggunakan hijab.
Namun lepas
dari itu, ibu juga sangat menyayangkan tindakan orang-orang yang ikut menghujat
Ahok tapi tidak menjalankan kewajiban sebagai umat Islam, yakni sholat lima
waktu, bersedekah, bahkan ibu melihat di televisi umat muslim pendukung MUI
aksi sampai berbuat kriminal saat magrib. Apakah mereka tidak sholat? Tanya ibu
kesal.
Sementara
Ayah, melihat sosok Ahok dengan sangat bijak, menurut ayah Ahok tidak bermaksud
untuk menghina agama Islam. Ahok, dari kaca mata ayah, melihat niat Ahok hanya sebatas untuk membuka
mata masyarakat untuk tidak terikat dalam surah Al-Maidah tentang memilih calon pemimpin. Diluar bagaimana tindakan
Ahok bertindak kriminal mada masyarakat di
Kampung Duri. Menurut Ayah, kisruh Ahok dituduh menista Agama adalah bagian
dari perpolitikan dan ajang cari ketenaran.
Dunia
seakan sibuk membicarakan masalah politik, diranah keluarga sampai diranah
sosial, membuatku jenuh, seakan krisis air, buta aksara dan krisis cinta tak
adalagi. Merasa jenuh, hingga menolak
ajakan teman untuk aksi membela Islam.
Dan saat itu tak sengaja aku membaca tulisan Muzi, yang berisikan perdebatan-perdebatan
dalam kolom komentar dengan pendapat masing-masing.
Sejak saat
itulah saya tertarik melirik setiap tulisan yang ia terbitkan. Bahwa masih ada
anak muda yang berpikiran terbuka tentang persoalan politik dan agama. Membuka
pandangan tentang bagaimana Islam sebenarnya menyelesaikan persoalan dengan
cara yang bijaksana. Agama Sosialis seperti bagaimana Karl Marx dan Nabi
Muhammad mengajarkan tentang sosialis masyarakat tanpa kelas.
Kemudian kami membahas segala hal tentang dunia sosial dan
literasi, meskipun saat itu aku menaruh curiga pada belio, karena beberapa
pertanyaan yang menurutku sangat aneh. Semisal tentang mengapa aku memilih
bekerja seorang diri sebagai seorang guru yang mengajar pada sekolah yang non
formal dan entah mengapa setelah beberapa kali pembicaraan kami memutuskan
untuk menjadi partner dalam kegiatan sosial. Sampai pada kedatangan Komunitas
Sahabat Pulau Palu di Desa Betaua tempatku bekerja. Mengenal sosok Muzi adalah keniscayaan. Ia telah banyak memberikan dampak positif bagi diriku.
Bisa berkenalan dengan banyak komunitas, meningkat minat baca pada diriku,
minat menulis, dan berkegiatan sosial yang benar-benar sosial tanpa uang, dan
hanya bermodalkan semangat.
Darinya juga
aku mengenal tentang dunia Literasi, yang sekarang ia geluti. Sejak duduk di
bangku sekolah aku hanya mengetahui bahwa pendidikan itu penting, sebab itulah
aku selalu rajin belajar dan tak pernah keluar dari peringkat lima besar. Dari
semangat kejarlah cita-cita sampai ke negeri Cina sepertiyang selalu diutarakan
Ayah, aku nekat untuk mengenyam pendidikan di Mts. Alkhairaat Pusat Palu,
meskipun bagiku itu sangat sulit, karena harus berpisah dengan orang tua,
saudara, meninggalkan kampung halaman dan teman-teman bermain.
Sebagai
anak bungsu berpisah dengan keluarga adalah cobaan yang sangat besar, yang
harus dilalui dengan lapang. Tinggal bersama keluarga yang baru di kenal, meskipun memiliki tali
kekeluargaan, pun harus menambah kesabaran yang sangat. Di lilit dengan
aturan-aturan rumah yang baru, serta keterbatasan untuk bergaul, menyelesaikan
semua pekerjaan yang tak pernah dilakukan di rumah menambah kesabaran dan
melatih mental saya untuk menjadi anak yang mandiri dan tidak manja.
Mungkin
kurang lebih sama dengan yang dirasakan Muzi, yang juga memilih berpisah dengan
keluarganya sejak lepas Sekolah Dasar.
Tetapi agak berbeda karena lepas Mts (baca SMP) aku memilih untuk melanjutkan Sekolah
Menengah Atas (SMA) di kampung halaman. Pilihan itu bukan karena tanpa alasan, karena tak ada pilihan untukku yang
masih hidup dalam lingkaran budaya patriarki. Yang saat itu kehidupanku sepenuhnya di atur oleh
ayah, dan kakak lelakiku.
Sejak kuliah tak sengaja aku membaca beberapa buku tentang budaya patriarki. Aku mulai membangkang mencari jalan hidup ku sendiri, meski harus merasakan kelaparan di kos hanya untuk mencari jati diriku sendiri. Meskipun sampai sekarang tak bisa di pungkiri aku masih terlilit dengan budaya patriarki. Semisal ketika buat status di facebook yang terus di kontrol oleh saudara. Juga di emban dengan tanggung jawab yang lahir dari budaya patriarki, meskipun ku tahu itu adalah bagian dari bentuk perhatian.
Mengenal
Muzi, membuka lebar-lebar pandangan ku
tentang tanggung jawab, dan pilihan hidup. Muzi memilih untuk menghabiskan
waktunya dengan menjadi relawan di dunia literasi. Tentunya sebagai anak laki-laki
tertua dalam keluarga adalah tanggung jawab yang harus di emban. Tetapi
menjadikan masyarakat lebih cerdas lebih berat dari tanggung jawab apapun. Dan memilih untuk menyepi di antara buku-buku
adalah keniscayaan. Untuk itu saya ucapkan selamat hari raya NYEPI.
Sabtu, 25 Maret 2017
Perempuan, Kekerasan dan Kemiskinan
Mengapa saya menulis ?
Semua orang bisa menulis, tetapi untuk apa, dan untuk siapa kita menulis ? apakah hanya sekedar hobi mencakar-cakar kertas, hobi menulis status di media sosial menyampaikan pesan. Maka jawablah
pertanyaan yang dilontarkan oleh si pemilik pertanyaan alasan apa yang membuat
kita harus menulis.
Sebuah status di akun
facebook dengan nama pemilik akun Parveen Mohammad yang tak lain adalah pemilik perpustakaan Mini Nemu Buku yang sering saya kunjungi ketika saya berada di Palu. Isi dari kabar berita tersebut tentang akan dibukanya kelas
menulis pada 23 Maret 2017 bersama Aan Mansyur. di Nemu Buku. tetapi sayang saya tak bisa hadir dalam kegiatan tersebut. kegiatan itu mengangkat tema tentang ‘alasan mengapa
kita harus menulis?’
Mengapa kita harus menulis
? sebuah pertanyaan yang menggerakkan hati dan tangan saya untuk mengambil
laptop dan menuliskan alasan mengapa saya harus menulis. Apa sebenarnya tujuan dari
menulis, apakah hanya sekedar hobi atau ada pesan yang ingin disampaikan pada
tulisan tersebut. Banyak orang termasuk
saya salah satunya sangat suka menulis status di media sosial, baik facebook,
instagram, twiter dll. Tapi apakah status-status tersebut tersiratkan pesan
pada siapa yang membaca? Atau hanya sekedar curhat dan lapor ketika berada di
suatu tempat atau hanya sekedar mengumbar kegiatan sehari-hari.
Menulis untuk perubahan. Kesimpulan yang dapat saya petik seteleh menonton film Freedom Writer adalah kisah seorang guru muda yang menginspirasi siswa-siswi yang tumbuh dalam kekerasan sejak kecil, yang kemudian belajar toleransi, membangun rasa percaya diri dengan menulis dan membuat perubahan di seluruh dunia tentang toleransi dalam keberagaman.
Selama ini yang menjadi
pertanyaan dalam hidup saya, apakah saya sudah menulis untuk perubahan ? Impian
dari banyak penulis adalah menginginkan apa yang telah ia tulis itu dapat di
baca dan dinikmati oleh banyak orang, bahkan mampu mengubah seseorang lewat apa
yang ia tulis entah itu berupa cara pandang, pemahaman tetang dunia dll.
Baik penulis buku pelajaran Sekolah, Novel,
Komik, atau Resep Makanan, semua menginginkan hal yang sama. Bagaimana
agar tulisannya bisa dinikmati dan
berguna bagi halayak ramai. Begitupun yang diharapkan oleh para peneliti.
Setelah melakukan riset di pelosok-pelosok negeri selama betahun-tahun, mereka
berharap hasil riset tersebut dapat di
baca dan menjadi acuan bagi para
periset-periset berikutnya.
Riset dan Perubahan Sosial
Dalam setahun menjalani
riset di kampung, tentunya banyak kendala yang saya temui di lapang. Dari
masalah pribadi, keluarga, sampai pada urusan masyarakat. Riset yang konsen
pada kehidupan perempuan dan krisis
sosial ekologi, menarik saya untuk masuk ke dalam krisis tersebut. Semisal
merasakan kelaparan, turut mencari kayu bakar, mandi, mencuci, dan buang hajat
di sungai, menanam jagung, mengikuti hajatan, dan memasak, membersihkan rumah,
mencuci, menjadi tukang ojek serta
menjaga anak.
Sebab menurut saya riset
tidak hanya sekedar datang dan memperhatikan semua apa yang dilakukan
orang-orang dikampung, dan memperhatikan perubahan lancscape yang terjadi di
kampung dari masa ke masa. Tetapi periset juga harus merasakan apa yang di
rasakan oleh masyarakat. Bahwasanya masyarakat atau narasumber tidak dijadikan
sebagai objek, tetapi dijadikan sebagai subjek.
Seperti para periset pada umumnya, datang dan
pergi setelah mengumpulkan data seperti kata bapak Gunawan Wiradi, janganlah
kamu menjadi peneliti yang hanya datang menambang ilmu pengetahuan pada
masyarakat, tetapi datanglah untuk berbagi ilmu pengetahuan.
Riset yang masih dalam
proses ini terfokus pada kehidupan
perempuan dan krisis sosial ekologi, namun dalam hal ini krisis tidak hanya di lihat dari kerusakan bentang alam, atau teralienasinya
perempuan dari ruang produksinya tetapi kami melihat krisis dari ranah keluarga. Akan tetapi banyak orang
beranggapan bahwa krisis ekologi adalah sebuah perubahan bentang alam yang
rusak karena adanya pertambangan atau karena hadirnya perkebunan sawit dalam
skala besar.
Selama setahun berada di
kampung saya ingin menceritakan sedikit tentang bagaimana krisis yang dihadapi
para perempuan bila dilihat dari ranah keluarga. Seperti kata teman saya Nyak
Moi dalam pertemuan Metodologi Penelitian di Bogor, bahwa sebenarnya krisis
yang dirasakan perempuan itu di mulai
dari sejak mata hari terbit sampai mata suami terbenam.
Dari sebelum matahari
terbit perempuan di kampung sudah melakukan aktifitas di dapur. Yakni memasak, mencuci, membersihkan rumah,
menyiapkan makanan, mengurus anak. dan saat siang hari perempuan di kampung
sudah mesti pergi ke ladang, sampai terbenam matahari kembali lagi di rumah
mengerjakan pekerjaan domestik sampai mengurus suami di ranjang. Begitu
seterusnya.
Maka tidak heran ketika perempuan
di kampung tak akan kita temui pada waktu siang hari, sebab mereka sibuk di
ladang. Perempuan di kampung tak akan kita temui pada saat malam hari, sebab
mereka kelelahan dari ladang dan harus menyelesaikan pekerjaan domestik.
Perempuan di kampung tak akan terdengar suaranya ketika ada pertemuan-pertemuan
di desa karena suara peremuan di anggap tidak penting dalam pengambilan
keputusan.
Beban ganda. Begitu
ketika saya melihat kehidupan perempuan di kampung. Yang sejak lama dan telah
mengakar sampai sekarang, terus mengalami
ketertindasan dalam hal hal produksi dan
reproduksi sosial. Perempuan harus melayani suami, mengurus anak, pergi ke
ladang, memikirkan segala sesuatu ada dan tidak ada untuk di makan, sampai pada
urusan seks (reproduski).
Belum lagi diskriminasi yang
di hadapi oleh perempuan bila di tarik dalam konteks relasi kuasa. Dalam hal
ini semisal contoh kuasa seorang bapak
pada anak perempuannya, yang melarang anak perempuan untuk tidak mengenyam
pendidikan di luar kota atau mengenyam pendidikan yang tinggi. Kuasa seorang suami pada istrinya, semisal
contoh, segala sesuatu yang dikatakan suami harus dipatuhi karena menganggap dirinya sebagai kepala
keluarga. Relasi kuasa pemimpin kampung (laki-laki) yang masih menomorduakan
perempuan sehingga perempuan tidak pernah terlibat dalam pengambilan keputusan.
Kekerasan
terhadap perempuan atas nama relasi kuasa sampai saat ini masih terjadi di
depan mata, seperti kasus yang di alami
oleh Manda seorang wartawati asal Ruteng NTT yang bekerja pada harian Palu ekspres yang tewas di tangan suaminya sendiri[1].
Tingkat kekerasan di Sulawesi
Tengah paling tinggi dialami oleh perempuan dan anak. Data kasus oleh Badan
pemberdayaan Perempuan dan Keluarga berencana (BPPKB) Provinsi Sulawesi Tengah menyatakan sejak tahun
2015 mencapai 117 kasus dan pada 2016 mencapai 305 kasus (Antarasulteng.com).
Menurut Ketua Pusat
Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Provinsi Jawa Barat
Netty Heryawan mengatakan akar penyebab tindakan kekerasan adalah
kemiskinan. Hal ini didukung oleh pernikahan dini, disharmoni dan
kesalahan pola pengasuhan anak, konsumsi minuman keras dan pornografi dikarenakan
karena masalah ekonomi atau masalah perubahan sosial yang berdampak pada
perempuan[2].
Di Sulawesi Tengah angka
kemiskinan menurut data Badan Pusat Statistik Provinsi Sulawesi Tengah jumlah
penduduk miskin mengalami peningkakatan di tahun 2015. Yakni mencapai 1,06 persen
dari tahun-tahun sebelumnya. di tahun 2014 tingkat kemiskinan mencapai -0,32 %.
Kemiskinan yang semakin
tinggi ini juga berdampak pada semakin tingginya pernikahan anak. Di kota Palu
adalah wilayah dengan angka pernikahan
anak tertinggi [3]. Kepala
Badan Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana Kota Palu, Irmayanti
Pettalolo, di Palu, Selasa (26/7/2016), mengakui tingginya perkawinan dini
tersebut terjadi di daerah itu.
Selain karena pergaulan
bebas berita yang di muat oleh Okezone.com itu juga menuliskan tentang pendapat
pembina forum anak dan pelatihan kepemimpinan perempuan bahwa kasus kawin anak
tersebut juga disebabkan karena faktor kemiskinan.
Dalam buku diskursus
kekuasaan dan praktik kemiskinan di pedesaan, Ivanovich Agusta menuliskan bahwa
kemiskinan muncul sebagai konsekuensi
interaksi kelas bawah (Marhein, kromo, petani
kecil, buruh tani dan sebagainya). Dengan kelas atas dari masyarakat kapitalis
dan feodal.
Maka tak heran bila
banyak perempuan kampung yang setiap hari bekerja selalu dikategorikan
miskin. pengaruh kapital yang masuk di
perkampungan memaksa perempuan untuk bekerja lebih keras, hanya untuk memenuhi
kebutuhan rumah tangga yang diciptakan oleh industri kapital. Begitupun di
ladang, perempuan harus bersaing dengan kerja mesin-mesin yang pada
kenyataannya mesin-mesin tersebut mampu mengalienasi perempuan dari ruang
produksinya.
Semakin masifnya perampasan-perampasan
tanah yang terjadi di kampung, memaksakan perempuan-perempuan kampung untuk
menjadi buruh imigran. Karena tak ada pilihan lain. Ivanovich juga menuliskan
bagaimana kisah perempuan yang memilih menjadi buruh migran karena tak ada
lahan untuk dikelolah dan hanya untuk pergi mencari uang untuk memenuhi
kebutuhan hidup keluarga.
Dalam
pertemuan kami di Bogor untuk membahas mengenai Metodologi Penelitian pada 1-7
Maret di rumah belajar Malabar 22 ‘Sajogyo Institute’ ada pesan yang selalu
mengantui saya. Pesan dari Prof. Sajogyo
tinggalah pada yang miskin atau yang paling miskin di kampung, maka kau akan tahu
berapa jumlah beras yang mereka makan setiap harinya.
[1] (baca http://www.moriwana.com/kematian-manda-memaafkan-sisi-religius-proses-hukum-tetap-berjalan)
[2] http://bp3akb.jabarprov.go.id/netty-penyebab-kekerasan-adalah-kemiskinan/
[3] http://news.okezone.com/read/2016/07/26/340/1447030/palu-termasuk-wilayah-dengan-angka-pernikahan-dini-tertinggi
Langganan:
Postingan (Atom)
Bersekolah di Masa Pandemi
Setalah hampir dua tahun sekolah diliburkan akibat covid, akhirnya pada senin 30 Agustus 2021 sekolah kembali dibuka untuk wilayah Tojo Un...
