Mengapa saya menulis ?
Semua orang bisa menulis, tetapi untuk apa, dan untuk siapa kita menulis ? apakah hanya sekedar hobi mencakar-cakar kertas, hobi menulis status di media sosial menyampaikan pesan. Maka jawablah
pertanyaan yang dilontarkan oleh si pemilik pertanyaan alasan apa yang membuat
kita harus menulis.
Sebuah status di akun
facebook dengan nama pemilik akun Parveen Mohammad yang tak lain adalah pemilik perpustakaan Mini Nemu Buku yang sering saya kunjungi ketika saya berada di Palu. Isi dari kabar berita tersebut tentang akan dibukanya kelas
menulis pada 23 Maret 2017 bersama Aan Mansyur. di Nemu Buku. tetapi sayang saya tak bisa hadir dalam kegiatan tersebut. kegiatan itu mengangkat tema tentang ‘alasan mengapa
kita harus menulis?’
Mengapa kita harus menulis
? sebuah pertanyaan yang menggerakkan hati dan tangan saya untuk mengambil
laptop dan menuliskan alasan mengapa saya harus menulis. Apa sebenarnya tujuan dari
menulis, apakah hanya sekedar hobi atau ada pesan yang ingin disampaikan pada
tulisan tersebut. Banyak orang termasuk
saya salah satunya sangat suka menulis status di media sosial, baik facebook,
instagram, twiter dll. Tapi apakah status-status tersebut tersiratkan pesan
pada siapa yang membaca? Atau hanya sekedar curhat dan lapor ketika berada di
suatu tempat atau hanya sekedar mengumbar kegiatan sehari-hari.
Menulis untuk perubahan. Kesimpulan yang dapat saya petik seteleh menonton film Freedom Writer adalah kisah seorang guru muda yang menginspirasi siswa-siswi yang tumbuh dalam kekerasan sejak kecil, yang kemudian belajar toleransi, membangun rasa percaya diri dengan menulis dan membuat perubahan di seluruh dunia tentang toleransi dalam keberagaman.
Selama ini yang menjadi
pertanyaan dalam hidup saya, apakah saya sudah menulis untuk perubahan ? Impian
dari banyak penulis adalah menginginkan apa yang telah ia tulis itu dapat di
baca dan dinikmati oleh banyak orang, bahkan mampu mengubah seseorang lewat apa
yang ia tulis entah itu berupa cara pandang, pemahaman tetang dunia dll.
Baik penulis buku pelajaran Sekolah, Novel,
Komik, atau Resep Makanan, semua menginginkan hal yang sama. Bagaimana
agar tulisannya bisa dinikmati dan
berguna bagi halayak ramai. Begitupun yang diharapkan oleh para peneliti.
Setelah melakukan riset di pelosok-pelosok negeri selama betahun-tahun, mereka
berharap hasil riset tersebut dapat di
baca dan menjadi acuan bagi para
periset-periset berikutnya.
Riset dan Perubahan Sosial
Dalam setahun menjalani
riset di kampung, tentunya banyak kendala yang saya temui di lapang. Dari
masalah pribadi, keluarga, sampai pada urusan masyarakat. Riset yang konsen
pada kehidupan perempuan dan krisis
sosial ekologi, menarik saya untuk masuk ke dalam krisis tersebut. Semisal
merasakan kelaparan, turut mencari kayu bakar, mandi, mencuci, dan buang hajat
di sungai, menanam jagung, mengikuti hajatan, dan memasak, membersihkan rumah,
mencuci, menjadi tukang ojek serta
menjaga anak.
Sebab menurut saya riset
tidak hanya sekedar datang dan memperhatikan semua apa yang dilakukan
orang-orang dikampung, dan memperhatikan perubahan lancscape yang terjadi di
kampung dari masa ke masa. Tetapi periset juga harus merasakan apa yang di
rasakan oleh masyarakat. Bahwasanya masyarakat atau narasumber tidak dijadikan
sebagai objek, tetapi dijadikan sebagai subjek.
Seperti para periset pada umumnya, datang dan
pergi setelah mengumpulkan data seperti kata bapak Gunawan Wiradi, janganlah
kamu menjadi peneliti yang hanya datang menambang ilmu pengetahuan pada
masyarakat, tetapi datanglah untuk berbagi ilmu pengetahuan.
Riset yang masih dalam
proses ini terfokus pada kehidupan
perempuan dan krisis sosial ekologi, namun dalam hal ini krisis tidak hanya di lihat dari kerusakan bentang alam, atau teralienasinya
perempuan dari ruang produksinya tetapi kami melihat krisis dari ranah keluarga. Akan tetapi banyak orang
beranggapan bahwa krisis ekologi adalah sebuah perubahan bentang alam yang
rusak karena adanya pertambangan atau karena hadirnya perkebunan sawit dalam
skala besar.
Selama setahun berada di
kampung saya ingin menceritakan sedikit tentang bagaimana krisis yang dihadapi
para perempuan bila dilihat dari ranah keluarga. Seperti kata teman saya Nyak
Moi dalam pertemuan Metodologi Penelitian di Bogor, bahwa sebenarnya krisis
yang dirasakan perempuan itu di mulai
dari sejak mata hari terbit sampai mata suami terbenam.
Dari sebelum matahari
terbit perempuan di kampung sudah melakukan aktifitas di dapur. Yakni memasak, mencuci, membersihkan rumah,
menyiapkan makanan, mengurus anak. dan saat siang hari perempuan di kampung
sudah mesti pergi ke ladang, sampai terbenam matahari kembali lagi di rumah
mengerjakan pekerjaan domestik sampai mengurus suami di ranjang. Begitu
seterusnya.
Maka tidak heran ketika perempuan
di kampung tak akan kita temui pada waktu siang hari, sebab mereka sibuk di
ladang. Perempuan di kampung tak akan kita temui pada saat malam hari, sebab
mereka kelelahan dari ladang dan harus menyelesaikan pekerjaan domestik.
Perempuan di kampung tak akan terdengar suaranya ketika ada pertemuan-pertemuan
di desa karena suara peremuan di anggap tidak penting dalam pengambilan
keputusan.
Beban ganda. Begitu
ketika saya melihat kehidupan perempuan di kampung. Yang sejak lama dan telah
mengakar sampai sekarang, terus mengalami
ketertindasan dalam hal hal produksi dan
reproduksi sosial. Perempuan harus melayani suami, mengurus anak, pergi ke
ladang, memikirkan segala sesuatu ada dan tidak ada untuk di makan, sampai pada
urusan seks (reproduski).
Belum lagi diskriminasi yang
di hadapi oleh perempuan bila di tarik dalam konteks relasi kuasa. Dalam hal
ini semisal contoh kuasa seorang bapak
pada anak perempuannya, yang melarang anak perempuan untuk tidak mengenyam
pendidikan di luar kota atau mengenyam pendidikan yang tinggi. Kuasa seorang suami pada istrinya, semisal
contoh, segala sesuatu yang dikatakan suami harus dipatuhi karena menganggap dirinya sebagai kepala
keluarga. Relasi kuasa pemimpin kampung (laki-laki) yang masih menomorduakan
perempuan sehingga perempuan tidak pernah terlibat dalam pengambilan keputusan.
Kekerasan
terhadap perempuan atas nama relasi kuasa sampai saat ini masih terjadi di
depan mata, seperti kasus yang di alami
oleh Manda seorang wartawati asal Ruteng NTT yang bekerja pada harian Palu ekspres yang tewas di tangan suaminya sendiri[1].
Tingkat kekerasan di Sulawesi
Tengah paling tinggi dialami oleh perempuan dan anak. Data kasus oleh Badan
pemberdayaan Perempuan dan Keluarga berencana (BPPKB) Provinsi Sulawesi Tengah menyatakan sejak tahun
2015 mencapai 117 kasus dan pada 2016 mencapai 305 kasus (Antarasulteng.com).
Menurut Ketua Pusat
Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Provinsi Jawa Barat
Netty Heryawan mengatakan akar penyebab tindakan kekerasan adalah
kemiskinan. Hal ini didukung oleh pernikahan dini, disharmoni dan
kesalahan pola pengasuhan anak, konsumsi minuman keras dan pornografi dikarenakan
karena masalah ekonomi atau masalah perubahan sosial yang berdampak pada
perempuan[2].
Di Sulawesi Tengah angka
kemiskinan menurut data Badan Pusat Statistik Provinsi Sulawesi Tengah jumlah
penduduk miskin mengalami peningkakatan di tahun 2015. Yakni mencapai 1,06 persen
dari tahun-tahun sebelumnya. di tahun 2014 tingkat kemiskinan mencapai -0,32 %.
Kemiskinan yang semakin
tinggi ini juga berdampak pada semakin tingginya pernikahan anak. Di kota Palu
adalah wilayah dengan angka pernikahan
anak tertinggi [3]. Kepala
Badan Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana Kota Palu, Irmayanti
Pettalolo, di Palu, Selasa (26/7/2016), mengakui tingginya perkawinan dini
tersebut terjadi di daerah itu.
Selain karena pergaulan
bebas berita yang di muat oleh Okezone.com itu juga menuliskan tentang pendapat
pembina forum anak dan pelatihan kepemimpinan perempuan bahwa kasus kawin anak
tersebut juga disebabkan karena faktor kemiskinan.
Dalam buku diskursus
kekuasaan dan praktik kemiskinan di pedesaan, Ivanovich Agusta menuliskan bahwa
kemiskinan muncul sebagai konsekuensi
interaksi kelas bawah (Marhein, kromo, petani
kecil, buruh tani dan sebagainya). Dengan kelas atas dari masyarakat kapitalis
dan feodal.
Maka tak heran bila
banyak perempuan kampung yang setiap hari bekerja selalu dikategorikan
miskin. pengaruh kapital yang masuk di
perkampungan memaksa perempuan untuk bekerja lebih keras, hanya untuk memenuhi
kebutuhan rumah tangga yang diciptakan oleh industri kapital. Begitupun di
ladang, perempuan harus bersaing dengan kerja mesin-mesin yang pada
kenyataannya mesin-mesin tersebut mampu mengalienasi perempuan dari ruang
produksinya.
Semakin masifnya perampasan-perampasan
tanah yang terjadi di kampung, memaksakan perempuan-perempuan kampung untuk
menjadi buruh imigran. Karena tak ada pilihan lain. Ivanovich juga menuliskan
bagaimana kisah perempuan yang memilih menjadi buruh migran karena tak ada
lahan untuk dikelolah dan hanya untuk pergi mencari uang untuk memenuhi
kebutuhan hidup keluarga.
Dalam
pertemuan kami di Bogor untuk membahas mengenai Metodologi Penelitian pada 1-7
Maret di rumah belajar Malabar 22 ‘Sajogyo Institute’ ada pesan yang selalu
mengantui saya. Pesan dari Prof. Sajogyo
tinggalah pada yang miskin atau yang paling miskin di kampung, maka kau akan tahu
berapa jumlah beras yang mereka makan setiap harinya.
[1] (baca http://www.moriwana.com/kematian-manda-memaafkan-sisi-religius-proses-hukum-tetap-berjalan)
[2] http://bp3akb.jabarprov.go.id/netty-penyebab-kekerasan-adalah-kemiskinan/
[3] http://news.okezone.com/read/2016/07/26/340/1447030/palu-termasuk-wilayah-dengan-angka-pernikahan-dini-tertinggi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar