Sabtu, 25 Maret 2017

Perempuan, Kekerasan dan Kemiskinan

Mengapa saya  menulis ?
Semua orang bisa menulis, tetapi untuk apa, dan untuk  siapa kita  menulis ? apakah hanya sekedar hobi mencakar-cakar kertas, hobi menulis status di media sosial  menyampaikan pesan. Maka  jawablah pertanyaan yang dilontarkan oleh si pemilik pertanyaan alasan apa yang membuat kita harus menulis. 

Sebuah status di akun facebook dengan nama pemilik akun Parveen Mohammad  yang tak lain adalah pemilik perpustakaan  Mini Nemu Buku yang sering saya kunjungi ketika saya berada di Palu. Isi dari kabar  berita tersebut tentang akan dibukanya kelas menulis pada 23 Maret 2017 bersama Aan Mansyur. di Nemu Buku. tetapi sayang saya tak bisa hadir dalam kegiatan tersebut. kegiatan itu mengangkat tema  tentang  ‘alasan mengapa kita harus menulis?’

Mengapa kita harus menulis ? sebuah pertanyaan yang menggerakkan hati dan tangan saya untuk mengambil laptop dan menuliskan alasan mengapa saya harus menulis. Apa sebenarnya tujuan dari menulis, apakah hanya sekedar hobi atau ada pesan yang ingin disampaikan pada tulisan  tersebut. Banyak orang termasuk saya salah satunya sangat suka menulis status di media sosial, baik facebook, instagram, twiter dll. Tapi apakah status-status tersebut tersiratkan pesan pada siapa yang membaca? Atau hanya sekedar curhat dan lapor ketika berada di suatu tempat atau hanya sekedar mengumbar kegiatan sehari-hari.

Menulis untuk perubahan. Kesimpulan yang dapat saya petik seteleh menonton film Freedom Writer  adalah kisah seorang guru muda yang  menginspirasi siswa-siswi yang tumbuh dalam kekerasan sejak kecil, yang kemudian  belajar toleransi, membangun  rasa percaya diri dengan menulis dan membuat perubahan di seluruh dunia tentang toleransi dalam keberagaman.
 
Selama ini yang menjadi pertanyaan dalam hidup saya, apakah saya sudah menulis untuk perubahan ? Impian dari banyak penulis adalah menginginkan apa yang telah ia tulis itu dapat di baca dan dinikmati oleh banyak orang, bahkan mampu mengubah seseorang lewat apa yang ia tulis entah itu berupa cara pandang, pemahaman tetang dunia  dll.

 Baik penulis buku pelajaran Sekolah, Novel, Komik, atau Resep Makanan, semua menginginkan hal yang sama. Bagaimana agar  tulisannya bisa dinikmati dan berguna bagi halayak ramai. Begitupun yang diharapkan oleh para peneliti. Setelah melakukan riset di pelosok-pelosok negeri selama betahun-tahun, mereka berharap hasil riset tersebut  dapat di baca dan  menjadi acuan bagi para periset-periset berikutnya. 

Riset dan Perubahan Sosial

Dalam setahun menjalani riset di kampung, tentunya banyak kendala yang saya temui di lapang. Dari masalah pribadi, keluarga, sampai pada urusan masyarakat. Riset yang konsen pada  kehidupan perempuan dan krisis sosial ekologi, menarik saya untuk masuk ke dalam krisis tersebut. Semisal merasakan kelaparan, turut mencari kayu bakar, mandi, mencuci, dan buang hajat di sungai, menanam jagung, mengikuti hajatan, dan memasak, membersihkan rumah, mencuci, menjadi tukang ojek  serta menjaga anak.

Sebab menurut saya riset tidak hanya sekedar datang dan memperhatikan semua apa yang dilakukan orang-orang dikampung, dan memperhatikan perubahan lancscape yang terjadi di kampung dari masa ke masa. Tetapi periset juga harus merasakan apa yang di rasakan oleh masyarakat. Bahwasanya masyarakat atau narasumber tidak dijadikan sebagai objek, tetapi dijadikan sebagai subjek.

 Seperti para periset pada umumnya, datang dan pergi setelah mengumpulkan data seperti kata bapak Gunawan Wiradi, janganlah kamu menjadi peneliti yang hanya datang menambang ilmu pengetahuan pada masyarakat, tetapi datanglah untuk berbagi ilmu pengetahuan.

Riset yang masih dalam proses ini  terfokus pada kehidupan perempuan dan krisis sosial ekologi, namun dalam hal ini krisis  tidak hanya di lihat dari  kerusakan bentang alam, atau teralienasinya perempuan dari ruang produksinya tetapi kami melihat krisis dari  ranah keluarga. Akan tetapi banyak orang beranggapan bahwa krisis ekologi adalah sebuah perubahan bentang alam yang rusak karena adanya pertambangan atau karena hadirnya perkebunan sawit dalam skala besar.

Selama setahun berada di kampung saya ingin menceritakan sedikit tentang bagaimana krisis yang dihadapi para perempuan bila dilihat dari ranah keluarga. Seperti kata teman saya Nyak Moi dalam pertemuan Metodologi Penelitian di Bogor, bahwa sebenarnya krisis yang dirasakan perempuan itu  di mulai dari sejak mata hari terbit  sampai  mata suami terbenam.

Dari sebelum matahari terbit perempuan di kampung sudah melakukan aktifitas di dapur. Yakni  memasak, mencuci, membersihkan rumah, menyiapkan makanan, mengurus anak. dan saat siang hari perempuan di kampung sudah mesti pergi ke ladang, sampai terbenam matahari kembali lagi di rumah mengerjakan pekerjaan domestik sampai mengurus suami di ranjang. Begitu seterusnya.

Maka tidak heran ketika perempuan di kampung tak akan kita temui pada waktu siang hari, sebab mereka sibuk di ladang. Perempuan di kampung tak akan kita temui pada saat malam hari, sebab mereka kelelahan dari ladang dan harus menyelesaikan pekerjaan domestik. Perempuan di kampung tak akan terdengar suaranya ketika ada pertemuan-pertemuan di desa karena suara peremuan di anggap tidak penting dalam pengambilan keputusan.

Beban ganda. Begitu ketika saya melihat kehidupan perempuan di kampung. Yang sejak lama dan telah mengakar sampai sekarang, terus  mengalami ketertindasan dalam hal hal produksi  dan reproduksi sosial. Perempuan harus melayani suami, mengurus anak, pergi ke ladang, memikirkan segala sesuatu ada dan tidak ada untuk di makan, sampai pada urusan seks (reproduski).

Belum lagi diskriminasi yang di hadapi oleh perempuan bila di tarik dalam konteks relasi kuasa. Dalam hal ini semisal contoh  kuasa seorang bapak pada anak perempuannya, yang melarang anak perempuan untuk tidak mengenyam pendidikan di luar kota atau mengenyam pendidikan yang tinggi.  Kuasa seorang suami pada istrinya, semisal contoh, segala sesuatu yang dikatakan suami harus dipatuhi  karena menganggap dirinya sebagai kepala keluarga. Relasi kuasa pemimpin kampung (laki-laki) yang masih menomorduakan perempuan sehingga perempuan tidak pernah terlibat dalam pengambilan keputusan.
Kekerasan terhadap perempuan atas nama relasi kuasa sampai saat ini masih terjadi di depan mata,  seperti kasus yang di alami oleh Manda seorang wartawati asal Ruteng NTT yang bekerja  pada harian Palu ekspres  yang tewas di tangan suaminya sendiri[1].

Tingkat kekerasan di Sulawesi Tengah paling tinggi dialami oleh perempuan dan anak. Data kasus oleh Badan pemberdayaan Perempuan dan Keluarga berencana (BPPKB)  Provinsi Sulawesi Tengah menyatakan sejak tahun 2015 mencapai 117 kasus dan pada 2016 mencapai 305 kasus (Antarasulteng.com).

Menurut Ketua Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Provinsi Jawa Barat Netty Heryawan mengatakan akar penyebab tindakan kekerasan adalah kemiskinan.  Hal ini didukung oleh pernikahan dini, disharmoni dan kesalahan pola pengasuhan anak,  konsumsi minuman keras dan pornografi dikarenakan karena masalah ekonomi atau masalah perubahan sosial yang berdampak pada perempuan[2].

Di Sulawesi Tengah angka kemiskinan menurut data Badan Pusat Statistik Provinsi Sulawesi Tengah jumlah penduduk miskin mengalami peningkakatan di tahun 2015. Yakni mencapai 1,06 persen dari tahun-tahun sebelumnya. di tahun 2014 tingkat kemiskinan mencapai -0,32 %.

Kemiskinan yang semakin tinggi ini juga berdampak pada semakin tingginya pernikahan anak. Di kota Palu adalah wilayah   dengan angka pernikahan anak tertinggi [3]. Kepala Badan Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana Kota Palu, Irmayanti Pettalolo, di Palu, Selasa (26/7/2016), mengakui tingginya perkawinan dini tersebut terjadi di daerah itu.

Selain karena pergaulan bebas berita yang di muat oleh Okezone.com itu juga menuliskan tentang pendapat pembina forum anak dan pelatihan kepemimpinan perempuan bahwa kasus kawin anak tersebut juga disebabkan karena faktor kemiskinan.

Dalam buku diskursus kekuasaan dan praktik kemiskinan di pedesaan, Ivanovich Agusta menuliskan bahwa  kemiskinan muncul sebagai konsekuensi interaksi kelas bawah (Marhein, kromo, petani kecil, buruh tani dan sebagainya). Dengan kelas atas dari masyarakat kapitalis dan feodal.

Maka tak heran bila banyak perempuan kampung yang setiap hari bekerja selalu dikategorikan miskin.  pengaruh kapital yang masuk di perkampungan memaksa perempuan untuk bekerja lebih keras, hanya untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga yang diciptakan oleh industri kapital. Begitupun di ladang, perempuan harus bersaing dengan kerja mesin-mesin yang pada kenyataannya mesin-mesin tersebut mampu mengalienasi perempuan dari ruang produksinya.

 Semakin masifnya  perampasan-perampasan tanah yang terjadi di kampung, memaksakan perempuan-perempuan kampung untuk menjadi buruh imigran. Karena tak ada pilihan lain. Ivanovich juga menuliskan bagaimana kisah perempuan yang memilih menjadi buruh migran karena tak ada lahan untuk dikelolah dan hanya untuk pergi mencari uang untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga.

Dalam pertemuan kami di Bogor untuk membahas mengenai Metodologi Penelitian pada 1-7 Maret di rumah belajar Malabar 22 ‘Sajogyo Institute’ ada pesan yang selalu mengantui saya. Pesan dari  Prof. Sajogyo tinggalah pada yang miskin atau yang paling miskin di kampung, maka kau akan tahu berapa jumlah beras yang mereka makan setiap harinya.








[1] (baca http://www.moriwana.com/kematian-manda-memaafkan-sisi-religius-proses-hukum-tetap-berjalan)

[2] http://bp3akb.jabarprov.go.id/netty-penyebab-kekerasan-adalah-kemiskinan/
[3] http://news.okezone.com/read/2016/07/26/340/1447030/palu-termasuk-wilayah-dengan-angka-pernikahan-dini-tertinggi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Bersekolah di Masa Pandemi

 Setalah hampir dua tahun sekolah diliburkan akibat covid, akhirnya pada  senin 30 Agustus 2021 sekolah kembali dibuka untuk wilayah Tojo Un...