Senin, 27 Maret 2017

Lelaki yang Menghabiskan Waktu Bersama Buku-Buku

 
(Sumber, IG Aan Mansyur)
Hampir  di setiap saat ketika aku hendak  mengujungi perpustakaan Nemu Buku yang terletak di jalan Tururuka, selalu saja nampak seorang laki-laki muda yang selalu sibuk di depan komputer yang terdapat di sudut ruangan perpustakaan,  tidak hanya sibuk mengetik ia juga sesekali mengambil buku yang terdapat di sisi meja komputer, ditulisnya buku itu dengan menggunakan pensil, dan sesekali berdiri mengambil buku-buku yang terdapat di rak-rak buku. Ya ia sedang mendata buku. Pekerjaan yang sudah hampir empat tahun ini ia geluti.

 Namanya Muzi. Sudah hampir setahun ini aku  mengenalnya. Perkenalan kami tidak seperti kisah-kisah orang-orang pada umumnya. Seperti bertemu di jalan, di pasar, di acara pesta teman, di acara kampus, di acara pentas seni atau diperkenalkan oleh teman. Perkenalan kami bisa di bilang terlalu kekinian. Ya.. berkenalan melalui  facebook.

Bermula dari sebuah tulisan yang ia terbitkan di akun facebook yang berjudul  “4 November, Damai”. Ia menulis  tentang pandangannya mengenai agama yang tidak bisa disangkutpautkan dengan politik . Yang saat itu berita  mengenai Ahok yang di tuduh menista agama Islam menjadi berita sangat hangat viral.

Saat itu dimana-dimana tempatku beranjak pergi selalu saja membicarakan tentang Ahok, ada yang pro dan ada yang kotra kepada Ahok. Bahkan di rumah tempat kita beristirahat juga membahas persoalan Ahok. Aku, Ibu dan Bapak di meja makan, depan televisi sampai di ruang tamu, hanya membicarakan masalah Ahok. Ibu, dengan naluri keibuannya merasa sangat kasihan melihat Ahok yang di hujat habis-habisan, bahkan ibu sempat meneteskan air mata ketika persidangan Ahok yang sangat drama menangis sambil memeluk saudara angkatnya yang menggunakan hijab.

Namun lepas dari itu, ibu juga sangat menyayangkan tindakan orang-orang yang ikut menghujat Ahok tapi tidak menjalankan kewajiban sebagai umat Islam, yakni sholat lima waktu, bersedekah, bahkan ibu melihat di televisi umat muslim pendukung MUI aksi sampai berbuat kriminal saat magrib. Apakah mereka tidak sholat? Tanya ibu kesal.

Sementara Ayah, melihat sosok Ahok dengan sangat bijak, menurut ayah Ahok tidak bermaksud untuk menghina agama Islam. Ahok, dari kaca mata ayah,  melihat niat Ahok hanya sebatas untuk membuka mata masyarakat untuk tidak terikat dalam surah Al-Maidah tentang  memilih calon pemimpin. Diluar bagaimana tindakan Ahok bertindak kriminal mada masyarakat  di Kampung Duri. Menurut Ayah, kisruh Ahok dituduh menista Agama adalah bagian dari perpolitikan dan ajang cari ketenaran. 

Dunia seakan sibuk membicarakan masalah politik, diranah keluarga sampai diranah sosial, membuatku jenuh, seakan krisis air, buta aksara dan krisis cinta tak adalagi.  Merasa jenuh, hingga menolak ajakan teman untuk aksi  membela Islam. Dan saat itu tak sengaja aku membaca tulisan Muzi, yang berisikan perdebatan-perdebatan dalam kolom komentar dengan pendapat masing-masing.

Sejak saat itulah saya tertarik melirik setiap tulisan yang ia terbitkan. Bahwa masih ada anak muda yang berpikiran terbuka tentang persoalan politik dan agama. Membuka pandangan tentang bagaimana Islam sebenarnya menyelesaikan persoalan dengan cara yang bijaksana. Agama Sosialis seperti bagaimana Karl Marx dan Nabi Muhammad mengajarkan tentang sosialis masyarakat tanpa kelas.

Kemudian kami  membahas segala hal tentang dunia sosial dan literasi, meskipun saat itu aku menaruh curiga pada belio, karena beberapa pertanyaan yang menurutku sangat aneh. Semisal tentang mengapa aku memilih bekerja seorang diri sebagai seorang guru yang mengajar pada sekolah yang non formal dan entah mengapa setelah beberapa kali pembicaraan kami memutuskan untuk menjadi partner dalam kegiatan sosial. Sampai pada kedatangan Komunitas Sahabat Pulau Palu di Desa Betaua tempatku bekerja. Mengenal sosok Muzi adalah keniscayaan. Ia  telah  banyak memberikan dampak positif bagi diriku. Bisa berkenalan dengan banyak komunitas, meningkat minat baca pada diriku, minat menulis, dan berkegiatan sosial yang benar-benar sosial tanpa uang, dan hanya bermodalkan semangat. 

Darinya juga aku mengenal tentang dunia Literasi, yang sekarang ia geluti. Sejak duduk di bangku sekolah aku hanya mengetahui bahwa pendidikan itu penting, sebab itulah aku selalu rajin belajar dan tak pernah keluar dari peringkat lima besar. Dari semangat kejarlah cita-cita sampai ke negeri Cina sepertiyang selalu diutarakan Ayah, aku nekat untuk mengenyam pendidikan di Mts. Alkhairaat Pusat Palu, meskipun bagiku itu sangat sulit, karena harus berpisah dengan orang tua, saudara, meninggalkan kampung halaman dan teman-teman bermain.
             
Sebagai anak bungsu berpisah dengan keluarga adalah cobaan yang sangat besar, yang harus dilalui dengan lapang. Tinggal  bersama keluarga  yang baru di kenal, meskipun memiliki tali kekeluargaan, pun harus menambah kesabaran yang sangat. Di lilit dengan aturan-aturan rumah yang baru, serta keterbatasan untuk bergaul, menyelesaikan semua pekerjaan yang tak pernah dilakukan di rumah menambah kesabaran dan melatih mental saya untuk menjadi anak yang mandiri dan tidak manja.  

Mungkin kurang lebih sama dengan yang dirasakan Muzi, yang juga memilih berpisah dengan keluarganya sejak lepas  Sekolah Dasar. Tetapi  agak berbeda karena lepas  Mts (baca SMP) aku memilih untuk melanjutkan Sekolah Menengah Atas (SMA) di kampung halaman. Pilihan itu bukan karena tanpa alasan, karena tak ada pilihan untukku yang masih hidup dalam lingkaran budaya patriarki. Yang  saat itu kehidupanku sepenuhnya di atur oleh ayah, dan kakak lelakiku.

Sejak kuliah tak sengaja aku membaca beberapa buku tentang budaya patriarki. Aku mulai membangkang mencari jalan hidup ku sendiri, meski harus merasakan kelaparan di kos hanya untuk mencari jati diriku sendiri. Meskipun sampai sekarang tak bisa di pungkiri  aku masih terlilit dengan budaya patriarki. Semisal ketika buat status di facebook yang terus di kontrol oleh saudara. Juga di emban dengan tanggung jawab yang lahir dari budaya patriarki, meskipun ku tahu itu adalah bagian dari bentuk perhatian.

Mengenal  Muzi, membuka lebar-lebar pandangan ku tentang tanggung jawab, dan pilihan hidup. Muzi memilih untuk menghabiskan waktunya dengan menjadi relawan di dunia literasi. Tentunya sebagai anak laki-laki tertua dalam keluarga adalah tanggung jawab yang harus di emban. Tetapi menjadikan masyarakat lebih cerdas lebih berat dari tanggung jawab apapun. Dan memilih untuk menyepi di antara buku-buku adalah keniscayaan. Untuk itu saya ucapkan selamat hari raya NYEPI.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Bersekolah di Masa Pandemi

 Setalah hampir dua tahun sekolah diliburkan akibat covid, akhirnya pada  senin 30 Agustus 2021 sekolah kembali dibuka untuk wilayah Tojo Un...