![]() |
(Sumber, IG Aan Mansyur) |
Namanya Muzi. Sudah hampir setahun ini aku mengenalnya. Perkenalan kami tidak seperti kisah-kisah orang-orang pada umumnya. Seperti bertemu di jalan, di pasar, di acara pesta teman, di acara kampus, di acara pentas seni atau diperkenalkan oleh teman. Perkenalan kami bisa di bilang terlalu kekinian. Ya.. berkenalan melalui facebook.
Bermula
dari sebuah tulisan yang ia terbitkan di akun facebook yang berjudul “4 November, Damai”. Ia menulis tentang pandangannya mengenai agama yang
tidak bisa disangkutpautkan dengan politik . Yang saat itu berita mengenai Ahok yang di tuduh menista agama
Islam menjadi berita sangat hangat viral.
Saat itu dimana-dimana
tempatku beranjak pergi selalu saja membicarakan tentang Ahok, ada yang pro dan
ada yang kotra kepada Ahok. Bahkan di rumah tempat kita beristirahat juga
membahas persoalan Ahok. Aku, Ibu dan Bapak di meja makan, depan televisi
sampai di ruang tamu, hanya membicarakan masalah Ahok. Ibu, dengan naluri
keibuannya merasa sangat kasihan melihat Ahok yang di hujat habis-habisan,
bahkan ibu sempat meneteskan air mata ketika persidangan Ahok yang sangat drama
menangis sambil memeluk saudara angkatnya yang menggunakan hijab.
Namun lepas
dari itu, ibu juga sangat menyayangkan tindakan orang-orang yang ikut menghujat
Ahok tapi tidak menjalankan kewajiban sebagai umat Islam, yakni sholat lima
waktu, bersedekah, bahkan ibu melihat di televisi umat muslim pendukung MUI
aksi sampai berbuat kriminal saat magrib. Apakah mereka tidak sholat? Tanya ibu
kesal.
Sementara
Ayah, melihat sosok Ahok dengan sangat bijak, menurut ayah Ahok tidak bermaksud
untuk menghina agama Islam. Ahok, dari kaca mata ayah, melihat niat Ahok hanya sebatas untuk membuka
mata masyarakat untuk tidak terikat dalam surah Al-Maidah tentang memilih calon pemimpin. Diluar bagaimana tindakan
Ahok bertindak kriminal mada masyarakat di
Kampung Duri. Menurut Ayah, kisruh Ahok dituduh menista Agama adalah bagian
dari perpolitikan dan ajang cari ketenaran.
Dunia
seakan sibuk membicarakan masalah politik, diranah keluarga sampai diranah
sosial, membuatku jenuh, seakan krisis air, buta aksara dan krisis cinta tak
adalagi. Merasa jenuh, hingga menolak
ajakan teman untuk aksi membela Islam.
Dan saat itu tak sengaja aku membaca tulisan Muzi, yang berisikan perdebatan-perdebatan
dalam kolom komentar dengan pendapat masing-masing.
Sejak saat
itulah saya tertarik melirik setiap tulisan yang ia terbitkan. Bahwa masih ada
anak muda yang berpikiran terbuka tentang persoalan politik dan agama. Membuka
pandangan tentang bagaimana Islam sebenarnya menyelesaikan persoalan dengan
cara yang bijaksana. Agama Sosialis seperti bagaimana Karl Marx dan Nabi
Muhammad mengajarkan tentang sosialis masyarakat tanpa kelas.
Kemudian kami membahas segala hal tentang dunia sosial dan
literasi, meskipun saat itu aku menaruh curiga pada belio, karena beberapa
pertanyaan yang menurutku sangat aneh. Semisal tentang mengapa aku memilih
bekerja seorang diri sebagai seorang guru yang mengajar pada sekolah yang non
formal dan entah mengapa setelah beberapa kali pembicaraan kami memutuskan
untuk menjadi partner dalam kegiatan sosial. Sampai pada kedatangan Komunitas
Sahabat Pulau Palu di Desa Betaua tempatku bekerja. Mengenal sosok Muzi adalah keniscayaan. Ia telah banyak memberikan dampak positif bagi diriku.
Bisa berkenalan dengan banyak komunitas, meningkat minat baca pada diriku,
minat menulis, dan berkegiatan sosial yang benar-benar sosial tanpa uang, dan
hanya bermodalkan semangat.
Darinya juga
aku mengenal tentang dunia Literasi, yang sekarang ia geluti. Sejak duduk di
bangku sekolah aku hanya mengetahui bahwa pendidikan itu penting, sebab itulah
aku selalu rajin belajar dan tak pernah keluar dari peringkat lima besar. Dari
semangat kejarlah cita-cita sampai ke negeri Cina sepertiyang selalu diutarakan
Ayah, aku nekat untuk mengenyam pendidikan di Mts. Alkhairaat Pusat Palu,
meskipun bagiku itu sangat sulit, karena harus berpisah dengan orang tua,
saudara, meninggalkan kampung halaman dan teman-teman bermain.
Sebagai
anak bungsu berpisah dengan keluarga adalah cobaan yang sangat besar, yang
harus dilalui dengan lapang. Tinggal bersama keluarga yang baru di kenal, meskipun memiliki tali
kekeluargaan, pun harus menambah kesabaran yang sangat. Di lilit dengan
aturan-aturan rumah yang baru, serta keterbatasan untuk bergaul, menyelesaikan
semua pekerjaan yang tak pernah dilakukan di rumah menambah kesabaran dan
melatih mental saya untuk menjadi anak yang mandiri dan tidak manja.
Mungkin
kurang lebih sama dengan yang dirasakan Muzi, yang juga memilih berpisah dengan
keluarganya sejak lepas Sekolah Dasar.
Tetapi agak berbeda karena lepas Mts (baca SMP) aku memilih untuk melanjutkan Sekolah
Menengah Atas (SMA) di kampung halaman. Pilihan itu bukan karena tanpa alasan, karena tak ada pilihan untukku yang
masih hidup dalam lingkaran budaya patriarki. Yang saat itu kehidupanku sepenuhnya di atur oleh
ayah, dan kakak lelakiku.
Sejak kuliah tak sengaja aku membaca beberapa buku tentang budaya patriarki. Aku mulai membangkang mencari jalan hidup ku sendiri, meski harus merasakan kelaparan di kos hanya untuk mencari jati diriku sendiri. Meskipun sampai sekarang tak bisa di pungkiri aku masih terlilit dengan budaya patriarki. Semisal ketika buat status di facebook yang terus di kontrol oleh saudara. Juga di emban dengan tanggung jawab yang lahir dari budaya patriarki, meskipun ku tahu itu adalah bagian dari bentuk perhatian.
Mengenal
Muzi, membuka lebar-lebar pandangan ku
tentang tanggung jawab, dan pilihan hidup. Muzi memilih untuk menghabiskan
waktunya dengan menjadi relawan di dunia literasi. Tentunya sebagai anak laki-laki
tertua dalam keluarga adalah tanggung jawab yang harus di emban. Tetapi
menjadikan masyarakat lebih cerdas lebih berat dari tanggung jawab apapun. Dan memilih untuk menyepi di antara buku-buku
adalah keniscayaan. Untuk itu saya ucapkan selamat hari raya NYEPI.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar