Senin, 05 Juni 2017

Kertas Surat adalah Sampah



Pusungi, 06 April 2017. 


Dear Jack. 

Apa kabar kamu? Sepertinya sudah lama sekali kita tidak berkabar surat.

Banyak hal yang ingin aku ceritakan padamu, semoga kau memiliki waktu luang walau hanya sekedar membaca surat  yang tak penting ini.


Sebentar lagi kita akan melewati malam Nuzulul Qur’an dan aku berharap semoga malam itu akan ku lalui dengan hataman Alqur’an pertamaku. Malam yang dimana Alqur’an pertama kali di turunkan, dengan ayat pertama yang mengajurkan pada kita untuk membaca. Iqra’ atau bacalah. Bulan ini sungguh sangat penuh berkah bagiku Jack, yang dimana aku bisa meluangkan banyak waktu bersama kedua orang tuaku yang sudah sepuh, setelah sekian lama aku meninggalkan mereka. 


Kembali ke rumah kali ini, serasa berada kembali  dipelukan mereka semasa kecil. Hanya yang membuat beda adalah sewaktu kecil aku selalu dibangunkan bila waktu sahur tiba, sering merengek minta di gendong ke meja makan, bahkan sampai minta di suapi oleh Ibu. Dan sekarang akulah yang harus mengambil peran Ibu, membuat makanan di saat sahur dan berbuka, membangunkan mereka, mencuci piring, membersihkan rumah, mencuci piring, belanja di Pasar dan segala pekerjaan domestik lainnya. Sangat sibuk. Walaupun apa yang aku sediakan sangat sederhana, dan  tak enak, namun bahagiannya tak ada duanya,  sangat luar biasa. 


Aku sangat merindukan masa-masa ini, berkumpul bersama keluarga, bercengkerama, tertawa, bahkan saling bentak-membentak, namun itulah ciri khas keluarga kami, adalah cara kami melepas rindu. Sangat unik. Pasti tak ada di keluarga yang lain.
  

Malam ini adalah malam kesekian  sahur. (aku lupa, karena tidak ingin menghitung waktu) di bulan Ramadhan. Tahun lalu, aku menghabiskan Ramadhan bersama keluarga baruku di kampung nan jauh di seberang pulau, dan kadang bersama teman-teman baruku di kota, puasa tak karuan sesuka hati, ibadah tak karuan, sungguh berbeda dengan Ramadhan kali ini, aku merasa kembali ke dunia yang di ridhoi Allah SWT. Hati serasa tenang, bahagia.


Kembali ke sarang dimana aku dilahirkan dan dibesarkan setelah melalang buana bersama hidup yang penuh kebebasan. Sekalipun hari ini aku masih merasa bebas, bebas berpikir bahwa aku adalah manusia bebas, karena kebebasan juga adalah keterikatan kita pada suatu makna “bebas”, bahwa bebas bukan berarti kita bebas.



Malam ini begitu dingin, kakiku serasa gemetar, hawa dingin malam mulai masuk melalui selah-selah jari-jari kaki. Sepertinya aku butuh kaus kaki.  Ku ambillah kaus kaki di tas ranselku dimana tempat awalnya aku mendapatinya. Dan meskipun telah ku pasang kaus kaki usang ini tak juga mampu mengajak aku terlelap. Aku Rindu entah pada siapa. Kaus kaki usang ini seperti membawa angankan pada seseorang yang entah siapa, pada ingatan sakit hati dan cinta kasih yang mendalam pada seseorang, pada surat yang tak terbalaskan, pada kecupan yang tak terbalaskan, pada rindu yang tak terbalaskan. Ah, kaus kaki dari mana kah asalmu. Aku membatin. Namun yang aku tahu kau adalah berkat yang aku temukan terselip di antara buku-buku catatan perjalaln hidup.



Khayalanku semakin menjadi-jadi melalangbuana sampai ke negeri seberang. Aku menaiki  selembar kertas, menari-nari dan menyanyi-nyani di atas kertas yang membawaku. Tak ada rasa takut terbesit di hatiku sedikitpun. Ku kepakkan tanganku, meloncat-loncat dari awan satu ke awan satu, bergumul bersama awan-awan dan jatuh bersama hujan, memberikan berkat kepada petani-petani di atas pegunungan Amazon,  mengalir bersama ikan-ikan dan angsa-angsa putih, tak kuasa, aku pun berubah menjadi seekor angsa putih yang menunggu seorang pangeran yang akan mencabut kutukan dari si peri jahat, yang cemburu akan  berkat yang diberikan Tuhan kepadaku.



Ayam berkokok terdengar dari jauh, bersaing dengan suara katak, yang sedang asyik bermain bersama genangan air. Itukah pertanda bahwa pangeran pembawa berkat telah tiba? Seperti diriku yang sedang asyik memikirkanmu. Malam ini jari-jariku tak bisa diam, bergerak bersama otakku yang sibuk memutar otak buku apa yang pas di baca sebagai pengantar tidur seperti yang aku lakukan di kamar kosku bila insomnia menghampiri. Tapi tidur jam bigini di bulan Ramadhan akan sulit, sebab hanya akan menjadikan kepala semakin berat dan sulit bila bangun lagi pada pukul 03.30 untuk makan sahur. Dan sepertinya aku akan menunggu sampai waktu makan sahur tiba, bersama keluarga. Meskipun aku bisa makan sahur sendiri. tapi akan lebih terasa nikmat bila melewati sahur bersama keluarga, setiap malam di bulan ramadahan tak akan ku lewatkan. Walau kadang berat, untuk membuka mata, dan menginjakan kaki di lantai yang dingin, seperti di es.

Belum juga aku merasa kantuk, meskipun karena dingin semakin mesuk ke sum-sum tulang. Jam lalu menunjukan pukul 02.00 Wita, dan perutku sudah sudah terasa mual, mugnkin karena kopi yang akau minum, atau masuk angin. Mungkin. 



 Kampung kami cuaca lagi tidak menentu, perubahan iklim katanya. Mungkin. Sebab pembalakan hutan marak terjadi di Indonesia, termasuk di Sulawesi Tengah, begitu kata direktur Walhi (Wahana Lingkungan Hidup) kawan baru saya. seperti malam ini, dan juga kemarin malam, hujan tak juga kunjung berhenti, yang mengakibatkan banjir di desa kami. Rumah-rumah kebanjiran sampai di pusat orang dewasa, barang-barang warga hanyut, terkena lumpur, terutama barang perabotan rumah, orang-orang terjaga, tak ada yang teritur sampai pagi, lantaran sibuk mengamankan barang-barang berharga milik mereka. Di rumah kakaku misalnya, mereka tak pernah tidur selama ramdhan ini di rumah, mereka mengungsi, sebab rumah mereka terkena banjir, kasur terkenan air, dan lumpur, piring-piring, perkakas rumah tangga, lemari lemari beserta isinya pun terkena air yang berlumpur. Kejadian ini hampir saja terkena di rumah ibuku tempat aku tinggal. Begitupun di ibu kota kabupaten, air sungai tak lagi mendapatkan jalan untuk ke muara, yang akhrinya merambat ke rumah-rumah warga, pagi-pagi sekali, aku melihat, orang-orang sibuk engan membersikna rumah meraka, perabot rumah tangga seperti televisi, kulkas, kursi, lemari, dan alat-alat rumah tangga lainya, sudah terpambang di atas meja d luar rumah. Rumah-rumah berlumuran lumpur, sampai di lurut, ibu-ibu dengan wajah layu membersihakan dengan sapu bahkan ada yang menggunakan sepotong papan untuk mengeluarkan  lumpur yang sudah melekat di dinding-dinding rumah dari dapur sampai ke teras rumah. 


Toko-toko penjual perabot rumah tangga, sibuk membuat penghalangan air, dari pasir yang dimasukan ke dalam karung kemudian di susun rapi di depan toko, agar air tak lagi masuk ke dalam toko mereka dan membasahi kursi-kursi mewah yang akan di jual. Hal  itu kemudian tidak dapat mengatasi masalah pada tetangga pemilik toko, sebab air kemudian meluap ke rumah  tetangga.

Sunguh pagi di bulan ramadhan yang sibuk. Mesjid Tua  di Kota Ampana pun terken banjir, di pelataran mesjid  kemudian menjadi becek yang sangat luas, setelah asir surut, namun tak nampak orang-orang datang mebersihkan mesjid. Mereka sibuk membersihkan rumah mereka masing-masing.

Sedang sampah-sampah berserakan di atas jalan aspal, keluar meluap dari dalam selokan, sekolompok orang-orang dengan mobil penyedot air sibuk menari-narik pipa  ke dalam rumah warga yang masih  tergenang air, dan membuangnya ke tempat lain. mobil sedot air ini pun tak juga menyelesaikan masalah, karena hanya memindahkan air dari satu tempat ke tempat lainnya. Sehingga mobil penyedot air bekerja berhari-hari hanya memindahkan air.
 

Banjir memang menjadi hal yang biasa untuk wilayah Pusungi ujung (Batampolo) perbatasan antara kelurahan Dondo, namu tak separah ini sebelum adanya Bandara dan Pertamina. Lokasi pembangunan Bandara dan Pertamina dulunya adalah hutan. Hutan yang kita telah ketahui fungsi dan kegunaannya selain sebagai perindang juga sebagai penopang erosi, sepert banjir dan meyimpan air. Namun sayang hutan kita telah tiada, dan masyarakatlah yang mendapatkan imbas dari pembangunan. Dari pembanugunan yang mendatangkan keuntungan besar bagi para pengusaha dan penguasa itu, tak ada sedikitpun ide-ide kreatif mereka untuk bagaimana cara mengatasi banjir ketika musim hujan tiba, semisal membuat Riol bawa tanah, sehingga banjir tidak meluap. Seperti kita ketahui bahwa  air tetap akan mencari jalannya untuk sampai ke muara. Namun seperti yang kita ketahui bahwa pengusaha dan pengusaha pasti hanya mementingkan kepentingan mereka dan memikirkan bagaimana cara mereka untuk mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya. 


Membangun rumah sebesar-besarnya, dengan pondasi sebesar-besarnya, di lengkapi dengan menyadap suara dan penghangat ruangan di saat musim hujan tiba, dan pendingin di saat musim panas, untuk apa memusingkan penderitaan rakyat, apalagi turun langsung merasakan penderitaan rakyat. Itulah pemimpin kita, toh yang banjir bukan rumah kita, walaupu kami makan dari uang kalian, begitu barangkali. 


Berjejer mobil-mobil pengangkut sampah, toh, sampahnya juga hanya sekedar dari tempat satu ke tempat lainnya, tanpa di kelolah dengan baik. Kadang di tempat pembuangan sampah terakhir, di sebuah desa yang jalannya berliku-liku, sampah di bakar, sampai menutupi jalan raya lantaran asap sampah yang bgeitu tebal dan bau busuk yang menyengat. Sangat mengganggu aktifitas pengguna jalan, maka tak heran banyak terjadi kecelakaan di sekitar daerah tersebut.


Berbicara mengenai sampah, tak akan habis-habisnya, walaupun kita selalu menyampaikan untuk selalu menanamkan sifat cinta akan lingkungan, dengan tidak membuang sampah sembarangan. Atau membuat sebuah papan peraturan “Buanglah sampah pada tempatnya..!’, “anak tampan buang sampah pada tempatnya..!” begitu banyak slogan-slogan yang terpampang agar orang-orang tidak membuang sampah sembarangan, di buat dengan sangat menarik, sampai lomba pembuatan tong-tong sampah dengan sangat menarik, sampai membentuk Tim GALIGASA. Toh tetap saja, sampah bertebaran dimana-mana. Karena setiap hari kita menghasilkan sampah, dari pembalut, tisu, dan sempak sekali pakai, belum lagi sampah rumah tangga, seperti sampah sabun, sampah garam, dll, yang kita tak punya pengetahua  untuk mengelolahnya.  Barang-barang yang diciptakan oleh kapital yang kemudian tanpa kita sadari menghancurkan hidup kita. untuk itu ayo.. jadi manusia Organik. 


Sampah tidak hanya berupa benda yang terlihat seperti kertas-kertas, termasuk kertas “Surat Cinta” untuk itu aku hanya menuliskanmu surat di Blog, agar tidak menjadi sampah di emailmu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Bersekolah di Masa Pandemi

 Setalah hampir dua tahun sekolah diliburkan akibat covid, akhirnya pada  senin 30 Agustus 2021 sekolah kembali dibuka untuk wilayah Tojo Un...