Senin, 05 Juni 2017

Surat Untuk Bapak


Dear Bapak..
Aku tak tahu harus memanggilmu apa? Mengenalmu pun aku tak pernah. Hanya sekali saja aku mendengar suaramu melalui telefon yang beberapa kali telefon kami tak pernah kau angkat, seakan kau menghindar dari kehidupan kami. Aku hanya mengenalmu dari foto-foto yang terpampang di dinding, berjejer di antara foto pernikahan keluarga Bunda. Juga pernah ku menemukan fotomu selagi muda bersama bunda yang tersimpan rapi di laci meja kerjanya.
Lainnya aku mengenalmu dari cerita-cerita orang-orang terdekat. Tentang suaramu yang menggema di saat acara-acara pesta pernikahan, dan lomba-lomba qasidah. Yang aku tahu namamu terdapat di dalam Asma Allah, yang tak ingin aku ucapkan di saat semua Asma Allah dilantunkan oleh anak-anak pengajian di rumah Nenek. Nama itu menjadi momok ketika ada yang membacakan Asma Allah tersebut. Seharusnya aku tak marah, sebab itu adalah Asma Allah yang harus aku puja-puji. Tapi entah kenapa aku selalu dihantui ketika mendengar nama itu. 

Lahir dari seorang perempuan yang masih muda dan punya cita-cita yang sangat tinggi ingin mengelilingi dunia, adalah kebanggaan tersendiri bagiku, tetapi juga menjadi kerisauan dalam benakku. Takut kehilangan. Sesekali aku merenung dan menangis ketika hendak mengetahui ibu telah pergi tanpa pamit, atau melambaikan tangan di sebuah mobil. Aku tahu bahwa semua perlakuan itu bukan tanpa alasan, ibu hanya tidak ingin menyakiti hatiku bila melihat ia melambaikan tangan dan meninggalkanku dengan alasan yang belum bisa aku terima dalam logikaku.

Sampai saat ini yang aku tahu Ibu adalah dia yang selalu ada menemaniku, menyuapiku makanan di saat lapar, mengambilkan air minum di saat aku haus, menemaniku di saat aku ingin tidur, memandikanku di saat badanku kotor, dan mengantarkanku ke sekolah. Alasan satu-satunya yang aku tahu bahwa ibu pergi memenuhi kewajibannya yang tertunda saat aku berada dalam kandungannya. Meneruskan kembali sekolahnya ketika tak bersama lagi bersama Bapak. 

Apalagi Bapak. Seharusnya aku bermain bersama Bapak, seperti anak-anak laki-laki yang lainnya. Bermain bola, menonton acara sepak bola, bermain sepeda, atau pergi memancing. Tapi sayang membayangkan kau hadir dalam hidupku pun aku tak kuasa. 

Sebagai anak laki-laki dan cucu laki-laki yang tertua dalam keluarga kami, aku seharusnya lebih bijaksana menerima keadaan ini. Tetapi keadaan ini tidak normal menurutku, terus memaksaku untuk merontak bahwa aku haus akan kasih sayang. Sungguh tak pelik bagiku bila harus menyaksikan kehidupan kawan-kawan sebayaku yang tertidur pulas dalam kehangatan pelukan sang bapak. Iri hati. Yah, Pasti. Kasih sayang yang tak mungkin kudapatkan ini, terus kemudian menjadikanku pribadi yang kuat, meski agak sedikit cengeng dan berwatak keras. Laku yang tak semestinya ada dalam adab keluarga kami. Entah laku dari gen mana dan siapa yang mengalir di jiwaku, tapi orang-orang selalu mengatakan bahwa begitulah perilaku Bapak. Yang membuat aku semakin geram. 

Sekarang usiaku memasuki tujuh tahun, dan tak kunjung bapak mengucapkan selamat ulang tahun padaku sejak kepergiannya yang entah berapa bulan sejak kelahiranku di dunia. Tak ada satupun benda yang dapat memperkenalkan aku denganmu Bapak, kecuali satu buah syurban yang selalu aku pakai di saat Ramadhan. Kata Ibu itu adalah syurbanmu. Entah kenapa aku sangat dekat dengan benda tersebut, ku pakai di kepalaku dan ku lilit di leherku, sembari berpose di depan kamera, bergaya kesana kemari layaknya artis yang sedang pamer busana. 

Syurban yang selalu membangun rasa percaya diriku untuk tampil di saat sholat jum’at dan sholat Eid. Seperti jimat yang terlahir bersama selaput tali pusatku. Di saat engkau tak ada. Betapa ingin aku mendengarkan suaramu yang merdu di saat pertama kali aku menghembuskan nafas ke dunia, keluar dari rahim ibu, dengan sangat bersusah payah melahirkanku tanpa kehadiranmu.

Aku tahu betapa ibu dengan bersusah payah mengumpulkan energi menahan rasa sakit ketika tiba masa aku harus keluar dari persemaian selama sembilan bulan. Betapa Ibu ingin merasakan kecupan hangat darimu seperti di tiap kali kau lakukan padanya sebelum tidur, setelah ia berjuang mengeluarkanku hasil dari cinta kalian berdua. 

Tak bisa aku menyalahkan siapa dalam hal bertumbuhnya diriku dengan laku yang tak bijak. Tetapi yang aku sesali adalah, kau tak pernah mengingat aku, apakah tak cintanya kau padaku? Lepas dari pergulatan khayalan yang akan menghasilkan pemikiran yang tak baik ini, saya berharap kelak bertemu dengan dirimu, dan menceritakan segala hal yang menakjubkan yang pernah aku lakukan bersama orang-orang yang aku cintai dan juga mencintaiku. 

Jiwaku terombang-ambing, tak mengerti. Hingga sempat ku lontarkan pertanyaan yang mungkin menusuk hati Ibu. Siapa sebenarnya yang melahirkanku? Siapa sebenarnya ibu kandungku? Dan siapa sebenarnya Bapakku? Mengapa begitu banyak ibu yang aku kenal, dan kesemuanya mengakui bahwa merekalah yang melahirkanku, dan membesarkanku. Mengapa begitu banyak bapak yang aku panggil Bapak? 

Selama ibu kuliah aku harus menahan rasa sakit hati dan rindu padanya dengan bermanja-manja yang berlebihan pada orang yang mengasuhku, sehingga kadang membuat ia sangat jengkel dan marah. Ia adalah Tanteku sendiri, kakak kandung Ibu.

Aku yang kemudian aku panggil mama, lantaran mendengar panggilan itu dari kakak sepupuku. Begitupun suaminya, aku memanggilnya Papa. Meskipun aku bukan anak kandung mereka, tetapi perhatian dan kasih sayang begitu sangat tulus ku dapatkan, mengalir seperti air, bahkan kemana Papa pergi aku selalu merengek untuk ikut. 

Sejak kecil, tak pernah ku rasakan belaian kasih sayang seorang bapak, setiap mencium aroma laki-laki, aku selalu memanggilnya Papa. Sebegitunya rindunya aku akan kasih sayang laki-laki di dunia ini. 


Bulan ini adalah bulan Ramadhan, bulan dimana semua orang-orang hanyut dalam ibadah, seperti yang aku liat di rumah Kakek. Semua orang berbondong-bondong ke mesjid untuk sholat tarwih, di rumah kakek dan nenek juga Ibu, meningkatkan bacaan Alqur’an dan sholat wajib dan sunah, suatu pemandangan yang tak biasa. Apalagi bagi Bunda. Di tengah kesibukannya kadang ia lupa untuk menghadap tuhan. Tapi lepas dari ibadah seseorang yang hanya Tuhan yang dapat menilai. Aku hanya ingin bilang, bahwa aku sangat bahagia hidup dalam keluarga ini, curahan kasih sayang yang melimpah, perhatian dari kakek yang selalu mengajarkan tabiat-tabiat rasul dan malaikat-malaikat Allah. Meskipun kadang membuatku jengkel, lantaran di setiap pagi dibangunkan untuk pergi kesekolah, di tengah asyiknya bermimpi bermaian bersama Naruto. 

Kasih sayang Nenek, yang selalu mmebuatkan ku susu saat hendak berangkat sekolah. Kasih sayang Mama yang tak pernah bisa kulupakan, serta Papa yang banting tulang menjagaku, mengajarkanku keberanian jiwa laki-laki yang sebenarnya, meskipun Papa sudah beberapa bulan ini tak jua pulang ke rumah, bukan karena Papa meninggalkan kami, atau mengikuti jejak Bang Toyib, tetapi Papa sedang pulang ke kampung halaman di Manado, untuk menjenguk Papinya yang sudah sepuh. 

Memiliki Kakak-kakak perempuan yang sangat cantik perangainya, Memilki Ayah, Mami, Pade, Indo, Bibi Nita, dan Memiliki Papa satunya lagi adalah anugrah dalam hidupku, yakni Papa U. Kakak Ibu. Tempat saya berkeluh kesah, seperti yang lainnya, dan tempat saya berlindung dan meminta uang jajan. Memiliki tiga adik dari saudara Ibu pun adalah kebanggan tersendiri bagiku. Walau kadang kami selalu bertengkar lantaran keegoisanku yang berlebih, tak mau di kalah, sampai aku harus melayangkan tangan pada adik-adik yang begitu aku sayangi. 

Memiliki Ibu yang masih muda dan lincah perangainya, kadang membuatku cemburu, dan merasa kasih sayangnya terbagi, karena kedekatannya dengan adik-adik sepupuku juga pada teman-temannya yang hilir mudik datang ke rumah. Aku kadang merasa diabaikan.
Semenjak berpisah dengan bapak, ibu belum lagi menikah, padahal usianya masih terbilang muda. Atau karena ia masih merasa trauma yang mendalam untuk bangkit lagi membangun rumah tangga dengan kehadarinku yang belum cukup dewasa untuk menerima sosok orang asing dalam kehidupan kami. Tetapi aku yakin, bahwa di luar sana, banyak pria yang menginginkan cintanya. 

Beberapa kali aku di ajak bercerita dengan teman-teman laki-laki dan perempuan melalui telefon. Ada yang berbicara tentang buku bacaan, dunia literasi yang membuat aku rajin menyuruh ibu untuk membacakan dongeng-dongeng sebelum tidur, ada yang bercerita tentang Naruto, tokoh kesukaanku. Bahkan sempat dulu ada teman Ibu yang membelikanku mobil-mobilan, namun sayang mobil-mobilan itu tak bertahan lama, sebab selalu ku obrak-abrik, seperti montir mencontohi apa yang aku lihat di bengkel Papa U. 

Yang aku tahu, bulan Ramadhan ini, aku selalu bersama ibu Rara Laki, dan tak ingin berpisah darinya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Bersekolah di Masa Pandemi

 Setalah hampir dua tahun sekolah diliburkan akibat covid, akhirnya pada  senin 30 Agustus 2021 sekolah kembali dibuka untuk wilayah Tojo Un...