Dear Bapak..
Aku tak tahu harus memanggilmu apa? Mengenalmu pun aku
tak pernah. Hanya sekali saja aku mendengar suaramu melalui telefon yang
beberapa kali telefon kami tak pernah kau angkat, seakan kau menghindar dari
kehidupan kami. Aku hanya mengenalmu dari foto-foto yang terpampang di dinding,
berjejer di antara foto pernikahan keluarga Bunda. Juga pernah ku menemukan
fotomu selagi muda bersama bunda yang tersimpan rapi di laci meja kerjanya.
Lainnya aku mengenalmu dari cerita-cerita orang-orang
terdekat. Tentang suaramu yang menggema di saat acara-acara pesta pernikahan,
dan lomba-lomba qasidah. Yang aku tahu namamu terdapat di dalam Asma Allah,
yang tak ingin aku ucapkan di saat semua Asma Allah dilantunkan oleh anak-anak
pengajian di rumah Nenek. Nama itu menjadi momok ketika ada yang membacakan
Asma Allah tersebut. Seharusnya aku tak marah, sebab itu adalah Asma Allah yang
harus aku puja-puji. Tapi entah kenapa aku selalu dihantui ketika mendengar
nama itu.

Sampai saat ini yang aku tahu Ibu adalah dia yang
selalu ada menemaniku, menyuapiku makanan di saat lapar, mengambilkan air minum
di saat aku haus, menemaniku di saat aku ingin tidur, memandikanku di saat
badanku kotor, dan mengantarkanku ke sekolah. Alasan satu-satunya yang aku tahu
bahwa ibu pergi memenuhi kewajibannya yang tertunda saat aku berada dalam
kandungannya. Meneruskan kembali sekolahnya ketika tak bersama lagi bersama Bapak.
Apalagi Bapak. Seharusnya aku bermain bersama Bapak,
seperti anak-anak laki-laki yang lainnya. Bermain bola, menonton acara sepak
bola, bermain sepeda, atau pergi memancing. Tapi sayang membayangkan kau hadir
dalam hidupku pun aku tak kuasa.
Sebagai anak laki-laki dan cucu laki-laki yang tertua
dalam keluarga kami, aku seharusnya lebih bijaksana menerima keadaan ini.
Tetapi keadaan ini tidak normal menurutku, terus memaksaku untuk merontak bahwa
aku haus akan kasih sayang. Sungguh tak pelik bagiku bila harus menyaksikan
kehidupan kawan-kawan sebayaku yang tertidur pulas dalam kehangatan pelukan
sang bapak. Iri hati. Yah, Pasti. Kasih sayang yang tak mungkin kudapatkan ini,
terus kemudian menjadikanku pribadi yang kuat, meski agak sedikit cengeng dan
berwatak keras. Laku yang tak semestinya ada dalam adab keluarga kami. Entah
laku dari gen mana dan siapa yang mengalir di jiwaku, tapi orang-orang selalu
mengatakan bahwa begitulah perilaku Bapak. Yang membuat aku semakin geram.
Sekarang usiaku memasuki tujuh tahun, dan tak kunjung
bapak mengucapkan selamat ulang tahun padaku sejak kepergiannya yang entah
berapa bulan sejak kelahiranku di dunia. Tak ada satupun benda yang dapat
memperkenalkan aku denganmu Bapak, kecuali satu buah syurban yang selalu aku
pakai di saat Ramadhan. Kata Ibu itu adalah syurbanmu. Entah kenapa aku sangat
dekat dengan benda tersebut, ku pakai di kepalaku dan ku lilit di leherku,
sembari berpose di depan kamera, bergaya kesana kemari layaknya artis yang
sedang pamer busana.
Syurban yang selalu membangun rasa percaya diriku
untuk tampil di saat sholat jum’at dan sholat Eid. Seperti jimat yang terlahir
bersama selaput tali pusatku. Di saat engkau tak ada. Betapa ingin aku
mendengarkan suaramu yang merdu di saat pertama kali aku menghembuskan nafas ke
dunia, keluar dari rahim ibu, dengan sangat bersusah payah melahirkanku tanpa
kehadiranmu.
Aku tahu betapa ibu dengan bersusah payah mengumpulkan
energi menahan rasa sakit ketika tiba masa aku harus keluar dari persemaian
selama sembilan bulan. Betapa Ibu ingin merasakan kecupan hangat darimu seperti di tiap kali kau lakukan padanya sebelum tidur, setelah ia berjuang
mengeluarkanku hasil dari cinta kalian berdua.
Tak bisa aku menyalahkan siapa dalam hal bertumbuhnya
diriku dengan laku yang tak bijak. Tetapi yang aku sesali adalah, kau tak
pernah mengingat aku, apakah tak cintanya kau padaku? Lepas dari pergulatan
khayalan yang akan menghasilkan pemikiran yang tak baik ini, saya berharap
kelak bertemu dengan dirimu, dan menceritakan segala hal yang menakjubkan yang
pernah aku lakukan bersama orang-orang yang aku cintai dan juga mencintaiku.
Jiwaku terombang-ambing, tak mengerti. Hingga sempat
ku lontarkan pertanyaan yang mungkin menusuk hati Ibu. Siapa sebenarnya yang
melahirkanku? Siapa sebenarnya ibu kandungku? Dan siapa sebenarnya Bapakku?
Mengapa begitu banyak ibu yang aku kenal, dan kesemuanya mengakui bahwa
merekalah yang melahirkanku, dan membesarkanku. Mengapa begitu banyak bapak
yang aku panggil Bapak?
Selama ibu kuliah aku harus menahan rasa sakit hati
dan rindu padanya dengan bermanja-manja yang berlebihan pada orang yang
mengasuhku, sehingga kadang membuat ia sangat jengkel dan marah. Ia adalah
Tanteku sendiri, kakak kandung Ibu.
Aku yang kemudian aku panggil mama, lantaran mendengar
panggilan itu dari kakak sepupuku. Begitupun suaminya, aku memanggilnya Papa.
Meskipun aku bukan anak kandung mereka, tetapi perhatian dan kasih sayang
begitu sangat tulus ku dapatkan, mengalir seperti air, bahkan kemana Papa pergi
aku selalu merengek untuk ikut.
Sejak kecil, tak pernah ku rasakan belaian kasih
sayang seorang bapak, setiap mencium aroma laki-laki, aku selalu memanggilnya
Papa. Sebegitunya rindunya aku akan kasih sayang laki-laki di dunia ini.
Bulan ini adalah bulan Ramadhan, bulan dimana semua
orang-orang hanyut dalam ibadah, seperti yang aku liat di rumah Kakek. Semua
orang berbondong-bondong ke mesjid untuk sholat tarwih, di rumah kakek dan
nenek juga Ibu, meningkatkan bacaan Alqur’an dan sholat wajib dan sunah, suatu
pemandangan yang tak biasa. Apalagi bagi Bunda. Di tengah kesibukannya kadang
ia lupa untuk menghadap tuhan. Tapi lepas dari ibadah seseorang yang hanya
Tuhan yang dapat menilai. Aku hanya ingin bilang, bahwa aku sangat bahagia
hidup dalam keluarga ini, curahan kasih sayang yang melimpah, perhatian dari
kakek yang selalu mengajarkan tabiat-tabiat rasul dan malaikat-malaikat Allah.
Meskipun kadang membuatku jengkel, lantaran di setiap pagi dibangunkan untuk
pergi kesekolah, di tengah asyiknya bermimpi bermaian bersama Naruto.
Kasih sayang Nenek, yang selalu mmebuatkan ku susu
saat hendak berangkat sekolah. Kasih sayang Mama yang tak pernah bisa
kulupakan, serta Papa yang banting tulang menjagaku, mengajarkanku keberanian
jiwa laki-laki yang sebenarnya, meskipun Papa sudah beberapa bulan ini tak jua
pulang ke rumah, bukan karena Papa meninggalkan kami, atau mengikuti jejak Bang
Toyib, tetapi Papa sedang pulang ke kampung halaman di Manado, untuk menjenguk
Papinya yang sudah sepuh.
Memiliki Kakak-kakak perempuan yang sangat cantik
perangainya, Memilki Ayah, Mami, Pade, Indo, Bibi Nita, dan Memiliki Papa
satunya lagi adalah anugrah dalam hidupku, yakni Papa U. Kakak Ibu. Tempat saya
berkeluh kesah, seperti yang lainnya, dan tempat saya berlindung dan meminta
uang jajan. Memiliki tiga adik dari saudara Ibu pun adalah kebanggan tersendiri
bagiku. Walau kadang kami selalu bertengkar lantaran keegoisanku yang berlebih,
tak mau di kalah, sampai aku harus melayangkan tangan pada adik-adik yang begitu
aku sayangi.
Memiliki Ibu yang masih muda dan lincah perangainya,
kadang membuatku cemburu, dan merasa kasih sayangnya terbagi, karena
kedekatannya dengan adik-adik sepupuku juga pada teman-temannya yang hilir
mudik datang ke rumah. Aku kadang merasa diabaikan.
Semenjak berpisah dengan bapak, ibu belum lagi
menikah, padahal usianya masih terbilang muda. Atau karena ia masih merasa
trauma yang mendalam untuk bangkit lagi membangun rumah tangga dengan
kehadarinku yang belum cukup dewasa untuk menerima sosok orang asing dalam
kehidupan kami. Tetapi aku yakin, bahwa di luar sana, banyak pria yang
menginginkan cintanya.
Beberapa kali aku di ajak bercerita dengan teman-teman
laki-laki dan perempuan melalui telefon. Ada yang berbicara tentang buku
bacaan, dunia literasi yang membuat aku rajin menyuruh ibu untuk membacakan
dongeng-dongeng sebelum tidur, ada yang bercerita tentang Naruto, tokoh
kesukaanku. Bahkan sempat dulu ada teman Ibu yang membelikanku mobil-mobilan,
namun sayang mobil-mobilan itu tak bertahan lama, sebab selalu ku obrak-abrik,
seperti montir mencontohi apa yang aku lihat di bengkel Papa U.
Yang aku tahu, bulan Ramadhan ini, aku selalu bersama
ibu Rara Laki, dan tak ingin
berpisah darinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar